Tanya Jawab Seputar Wahidiyah

Tanya Jawab Seputar Wahidiyah

1. “Bagaimana bacaan Sholawat Wahidiyah”……..?

Sholawat Wahidiyah terdiri dari: Hadiah Alfatehah kepada Nabi Muhammad SAW, hadiah Alfatehah kepada Al-Ghouts (Guru Pembimbing), Sholawat Wahidiyah, Sholawat Ma’rifat, Sholawat SHOLAWAT TSALJUL QULUB” (Sholawat salju hati / pendingin hati), Istighosah, do’a-do’a, termasuk bacaan QS. Adz-Dzariat: 50,  QS. Al-Isra’: 81, dan Al-fatehah sebagai penutup.

2. “Bagaimana Teks Sholawat Wahidiyah dan cara pengamalannya”……..?

3. “Apa faidah Sholawat Wahidiyah”…….?

Sholawat Wahidiyah berfaidah antara lain dan terutama untuk menjernihkan hati, menenangkan batin dan menentramkan jiwa serta meningkatkan daya ingat sadar / ma’rifat kepada Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa Wa Rosulihi SAW”.

4. Apakah Wahidiyah termasuk Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabaroh?

Wahidiyah bukan termasuk Jam’iyyah Thorikoh Mu’tabaroh An Nahdliyyah. Wahidiyah bukan merupakan suatu ikatan atau perkumpulan Jam’iyyah Thoriqoh, AKAN TETAPI DAPAT JUGA DISEBUT THORIQOH, dalam arti “jalan” atau “sarana” menuju wushul sadar kepada Allah wa Rosulihi SAW.

Wahidiyah adalah Sholawat. Amalan sholawat tidak memerlukan sanad (silsilah). Sebab sholawat sanadnya langsung Rosululloh SAW. Berbeda dengan dzikir lainnya, harus ada sanadnya. Karena sanad di dalam Sholawat itu adalah Rosululloh SAW sendiri, sebagaimana diterangkan dalam kitab Sa’adatud Daroini Hal: 99.

Begitu juga para ahli-ahli tasawuf dari Zaman dahulu berusaha bersama-sama mencari jalan untuk menuju ma’rifat kepada Alloh SWT dengan berbagai THOREQOH atau jalan, dengan guru yang khamil-mukhamil. Namun di akhir zaman, para ulama tasawuf bersepakat (i’tibar), bahwa cara yang paling gampang dan tidak beresiko dalam pendekatan diri kepada Allah yaitu dengan memperbanyak bacaan Sholawat dan beristiqhfar. Maka dikatakan dalam kitab Sa’adatud Daroini yang berisi mengupas keutamaan sholawat:
“AGROBUT TURUQI ILLALLAH FI AKHIRI ZAMANI KATSROTUL ISTIQFAR WA SHOLAWATUL ‘ALANNABIY”

“Jalan yang paling dekat (menuju) kepada Allah pada akhir zaman, khususnya bagi orang-orang yang banyak dosa, adalah memperbanyak istiqhfar dan membaca sholawat kepada Nabi SAW”

Ditegaskan lagi oleh Syekh Hasan Al-Adawi di dalam kitab “Dailul Khoiror” yang kemudian dibenarkan dan dan didukung oleh para Ulama Shufi lainya yaitu sebagai berikut: ”Sesungguhnya membaca Shalawat kepada Nabi SAW itu bisa menerangi hati dan mewushulkan kepada Tuhan Dzat Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.

5. “Apa dasar pengamalan Sholawat Wahidiyah selama 40 hari….?”

Nabi SAW bersabda :
“Tidak ada seorang hamba yang ikhlas mengerjakan amal karena Alloh selama 40 hari kecuali akan muncul pancaran nur-nur hikmah dari hati sampai ke lisannya”. (HR. Ibnul Addy dan Ibnul Juuzy dari Abi Musa Al-Asyary).

Nabi Musa menemui Tuhan di Bukit Sina setelah uzlah melepaskan diri dari hiruk pikuk dunia dengan mengisi hidupnya dengan ibadah dan dzikir selama 40 hari sebagaimana telah dijelaskan dalam QS al a ’raf 142.
Nabi Muhammad SAW. sebelum menerima wahyu pertama terlebih dahulu beliau menempa dirinya dengan uzlah di Gua Hira selama 40 hari

6. “Apakah Sholawat Wahidiyah boleh diamalkan oleh siapa saja……?”

Berikut dawuh Mbah Yahi / K.H. Abdul Madjid QS wa RA (Mualif Sholawat Wahidiyah) tentang Ijazah mutlaknya:

Yang artinya “Aku ijazahkan kepadamu Sholawat Wahidiyah ini untuk di amalkan, disiarkan dan diijazahkan kepada yang lain.”

Siapapun yang mendapat Sholawat Wahidiyah darimana saja dan dari siapapun itu, silahkan di amalkan. Tidak pandang bulu, siapapun yang mau, boleh mengamalkan tanpa ada batasan suku, golongan, ras, bangsa, agama, umur dan jenis kelamin. Tanpa ada bai’at dan syarat-syarat apapun. Ijazah mutlak dan bersifat umum, luas, dan dipermudah, dengan dasar “ikhlas tanpa pamrih”.

Setelah di amalkan supaya di syiarkan kepada keluarga, teman, dan masyarakat luas pada umumnya dengan sebaik dan sebijaksana mungkin.

Firman Alloh: “Dan Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf,  dan mencegah kepada yang mungkar, mereka orang-orang yang beruntung” (Ali-Imron: 104)

Hadist Rosululloh SAW: “Sampaikanlah apa yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhori dan Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Hadist Rosululloh SAW: “Barang siapa yang menjadi sebabnya, orang menjadi Islam atas usahanya, wajiblah baginya masuk surga” (Riwayat Thobroni dari ‘Uqobah bin Amir)

Hadist Rosululloh SAW:  “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

7. “Apakah ada dalil khusus yang berkaitan dengan Sholawat Wahidiyah…..?”

Membaca Sholawat kepada Rosul SAW dengan do’a Sholawat yang mana saja mutlak diterima; baik Sholawat yang waridah dari Nabi sendiri (yaitu yang disebut Sholawat ma’tsuroh), maupun yang susunan redaksinya dicipta oleh para Ulama (yaitu Sholawat yang disebut Sholawat ghoiru Ma’tsuroh). Misalnya: Sholawat Nariyah,Sholawat Munjiyat, Sholawat badar, dan termasuk pula Sholawat Wahidiyah. Sebab perintah membaca Sholawat-Salam yang disebutkan dalam Al-Qur’an :

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat atas Nabi, hai orang-orang yang beriman bersholawatlah kamu semua untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan salam yang sebaik-baiknya".(QS. AI Ahzaab : 56)

Adapun perbedaan Sholawat Wahidiyah dengan Sholawat- Sholawat yang lain, ialah: bahwa Sholawat Wahidiyah disertai ajaran tauhid dan ma’rifat dengan cara yang praktis dan positif.

8. “Apakah Sholawat Wahidiyah mempunyai tuntunan/ bimbingan/ ajaran sendiri..…?”

TIDAK..!. Karena yang dimaksud AjaranWahidiyah adalah bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah didalam mengamalkandan menerapkan tuntunan Rosululloh SAW mencakup bidang Syari’at dan Haqiqohmeliputi iman, pelaksanaan islam, perwujudan ihsan dan pembentukan AkhlaqulKarimah. Ajaran wahidiyah merupakan ajaran Tauhid dan Ma'rifat dengan cara yang praktis dan positif. Ajaran Wahidiyah bukan ajaran baru dalam Islam yang diada-adakan(Bid’ah) melainkan ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari Al-Quran,Hadits serta Ijma’ para Ulama’ Salafus Sholihin. Boleh diamalkan danditerapakan oleh siapa saja tanpa pandang bulu.

Adapun rumusan pokok-pokok bimbingan ajaran Wahidiyah yaitu :

- Lillah Billah.
- Lirrosul Birrosul.
- Yu’ti Kulla Dzi Haqqin Haqqoh.
- Taqdimul Aham Fal Aham tsumal Anfa’ Fal Anfa’.

Tujuan dari penerapan bimbingan ajaran Wahidiyah adalah agar seluruh kegiatan kita bernilai Ibadah, sehingga yang bernilai ibadah bukan hanya sholat saja, tetapi kita kerja, kita mandi, kita belajar, kita tidur, kita makan, dllakan bernilai ibadah 24 Jam - Jika kita niati LILLAH-BILLAH-LIROSUL-BIROSUL dst.

Dan ajaran ini  berdasarkan Qur’an, Hadist SAW serta Ijma’ para Ulama’ Salafus Sholihin yang bertujuan agar seluruh kegiatan kita dapat bernilai ibadah bila menerapkan Lillah-Billah-Lirosul-Birosul.... dst.

LILLAH : segala amal perbuatan apa saja, baik yang hubungan langsung kepada Alloh dan Rosul-Nya SAW, maupun yang hubungan dengan masyarakat, dengan sesama makhluk pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah atau yang wenang, asal bukan perbuatan yang merugikan/bukan perbuatan yang tidak diridhoi Alloh, melaksanakannya supaya disertai dengan niat dan tujuan untuk mengabdikan diri kepada Alloh Tuhan Yang Maha Esa dengan ikhlas tanpa pamrih ! LILLAHI TA'ALA!, LAA ILAAHA ILLALLOOH ( = tiada tempat mengabdi selain kepada Alloh ). WAMAA KHOLAQTUL JINNA WALINSA ILLAA LIYA'BUDUUN ( = dan tiadalah AKU menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-KU ) (Al Dzariyaat-56)

BILLAH : Menyadari dan merasa senantiasa kapan dan dimanapun berada, bahwa segala sesuatu termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin , adalah ALLOH TUHAN MAHA PENCIPTA yang menciptakan, menggerakkan dan menitahkannya. Jangan sekali-kali merasa lebih-lebih mengaku bahwa diri kita ini memiliki kekuatan atau kemampuan. LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAH ( tiada daya dan kekuatan melainkan atas titah Alloh-BILLAH )

Rosulullah bersabda : “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”

“Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun” (Allohlah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat) (Qs.Ash-Shaffaat:96)

“Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama” (Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar melainkan Aku [Alloh]) (Qs.Al-Anfal:17)

LIRROSUL : Disamping niat mengabdikan diri / beribadah kepada Alloh- LILLAH seperti diatas, dalam segala tindakan dan perbuatan apa saja, asal bukan perbuatan yang tidak diridhoi Alloh, bukan perbuatan yang merugikan, supaya juga disertai niat mengikuti jejak tuntunan Rosululloh SAW. “ YAA AYYUHAL-LADZIINA AAMANUU ATHII ‘ULLOOHA WA ATHII ‘UR-ROSUULA WALAA TUBTHILUU A'MAALAKUM “ ( Hai orang-orang yang beriman ( BILLAH ), taatlah kepada Alloh ( LILLAH ) dan taatlah kepada Rosul ( LIRROSUL ), dan janganlah kamu merusakkan amal-amalmu sekalian ( Muhammad 33 )

BIRROSUL : Disamping sadar BILLAH seperti diatas, supaya juga menyadari dan merasa bahwa segala sesuatu termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin ( yang diridhoi Alloh ) adalah sebab jasa Rosululloh SAW. “ WAMAA ARSALNAAKA ILLA ROHMATAN LIL'AALAMIIN “ (= Dan tiada Aku mengutus Engkau Muhammad melainkan rohmat bagi seluruh alam ( Al Anbiya 107 ). Penerapan LILLAH –BILLAH dan LIRROSUL-BIRROSUL seperti diatas adalah merupakan realisasi dalam praktek hati dari dua kalimat syahadat “ ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLOOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULULLOH SAW “
LILLAH – BILLAH and LIRROSUL – BIRROSUL (adalah perwujudan dzauqiyah dari dua pengakuan): ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLOOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULULLOH Shollalloohu ‘alaihi wasallam

YUKTI KULLA DZII HAQQIN HAQQOH : Mengisi dan memenuhi segala bidang kewajiban. Melaksanakan kewajiban disegala bidang tanpa menuntut hak. Baik kewajiban-kewajiban terhadap Alloh wa Rosuulihi SAW, maupun kewajiban-kewajiban dalam hubungannya didalam masyarakat di segala bidang dan terhadap makhluk pada umumnya.

TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA' FAL ANFA' : Didalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut supaya mendahulukan yang lebih penting ( AHAMMU ). Jika sama-sama pentingnya, supaya dipilih yang lebih besar manfaatnya ( ANFA'U ). Hal-hal yang berhubungan dengan ALLOH wa ROSUULIHI SAW. Terutama yang wajib, pada umumnya harus dipandang “ AHAMMU “ ( lebih penting ) dan hal-hal manfaatnya dirasakan juga oleh orang lain atau ummat dan masyarakat pada umumnya harus dipandang “ ANFA'U “ (lebih bermanfaat)

Al-Ghauts : Peranan dan Kedudukannya di Tengah Umat
7 April 2013 pukul 8:17
"Sesungguhnya ada sebagian ilmu yang diibaratkan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya kecuali ulama Billah. Apabila mereka mengungkapkan ilmu tersebut, tidak seorangpun yang membantahnya, kecuali orang-orang yang tidak paham tentang Allah."(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi RA)

Banyak yang belum faham Peranan dan Kedudukannya Ghauts (Guru yang khamil-mukhamil) di Tengah Umat . Apa tugas-tugasnya, sejak kapan keberadaanya di tengah-tengah umat. Hal ini penting di bahas karena masih banyak kaum Muslimin khususnya Pengamal Wahidiyah yang salah mempresepsikan atau bahkan tidak tahu sama sekali keberadaan Ghauts di muka bumi. Ini bisa di maklumi mengingat pembahasan tentang Ghautsiyah tidak banyak beredar di tengah-tengah masyarakat.

Ghauts secara harfiah berarti penolong. Menurut ulama Tasawuf adalah pemimpin para waliyullah di muka bumi. Tugasnya adalah sebagai penuntun, pembimbing kepada keselamatan dan kebahagiaan yang di ridhoi Allah wa Rasulihi SAW. Istilah Ghauts banyak di bahas dalam dunia tasawuf. Ini menurut tinjauan kacamata tasawuf.

Sepeninggal Rasulullah SAW penggantinya adalah para Khulafaur Rasyidin yang sekaligus menjabat sebagai Quthubul Aqthab dan Ghauts di zaman itu. Siapa Ghauts pertama sepeninggal Khulafaur Rasyidin?

Dalam kitab Yawaqit juz II hal. 82 ada keterangan bahwa Ghauts pertama menurut para ulama tasawuf adalah Sayyidina Hasan RA. Setelah beliau wafat di ganti Sayyidina Husein RA. Dalam kurun lain Ghauts fii zamanihi Syekh Abdus Salam bin Masyisy RA. Setelah beliau wafat di ganti oleh Syekh Abul Hasan Asy Syazali RA, diteruskan oleh Syekh Abbul Abbas Al Mursi RA. Banyak kitab-kitab yang menerangkan kalau Al-Ghoutsu meninggal ganti- meninggal ganti, Syeh Abdul Qodir Jaelanai menggantikan gurunya yang telah wafat, Syeh Abdul Qodir Jaelanai wafat digantikan Putranya. Juga imam Naksabandi menggantikan gurunya (Syeh Amir Qulal), Syeh Amir Qulal menggantikan Ghouts sebelumnya Syeh Baba Asamasi. Begitu seterusnya.

Apakah para Ghauts itu mesti berdomisili di Timur Tengah, di Mekkah misalnya mengingat Ka’bah ada disana?

Dalam kitab-kitab tasawuf tidak ada yang menerangkan bahwa Ghauts itu harus orang Timur Tengah apalagi di Mekkah. Contohnya Syekh Imam Ghazali dari Persia (Iran), Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dari Baghdad (Irak).

Bagaimana proses pergantian dari Ghauts yang satu ke Ghauts berikutanya?

Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu haditsnya yang artinya kurang lebih:

”Sesungguhnya Allah mempunyai 300 wali di muka bumi ini yang hatinya seperti Nabi Adam AS, 40 wali yang hatinya seperti Nabi Musa AS, 7 wali yang hatinya seperti Nabi Ibrahim AS, 5 wali yang hatinya seperti Malaikat Jibril, 3 wali yang hatinya sebagaimana hati Malaikat Mikail, kemudian 1 wali hatinya seperti Malaikat Isrofil. Apabila wali yang satu itu meninggal dunia, Allah mengganti/mengangkat salah satu dari wali yang lima. Apabila salah satu dari wali yang lima meninggal dunia, Allah mengangkat salah satu wali dari yang tujuh. Apabila salah satu dari wali yang tujuh meninggal dunia, Allah mengganti salah satu dari wali yang empat puluh. Apabila salah satu dari wali yang empat puluh itu meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari wali yang jumlahnya tiga ratus. Dan apabila salah satu dari wali yang tiga ratus meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari sekian manusia beriman yang paling baik dalam segala bidang.” (Tafsir Sirojul Munir: 157, Siraajut Thalibin juz I: 161, Tanwirul Qulub: 414-415, Syawahidul Haq: 197, Al Haawi lilfataawi juz 11: 298 dan buku kuliah wahidiyah: 140)

berkenaan dengan hadits diatas, ba’dul ‘arifin (ulama tasawuf) mengatakan:
”Wali atau yang disebut dalam hadits ini ialah Wali Quthub dan dialah Ghauts.” (Syawahidul Haq: 197)

Sehubungan dengan hadits tersebut, Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani RA menafsirkan:

”Apabila Al Qhutub Al Ghauts meninggal, dalam kekosongan ini Allah mengganti mengangkat Ghauts yang lain.” (Yawaqit juz II: 80).

Beliau juga mengatakan:

”Semua zaman tidak akan sepi dari Rasul dan dialah Al Quthub, dialah tempat melihat Allah Al Haq di alam ini.” Ditegaskan lagi dengan Qaulnya: ”Maka bumi ini tidak akan sepi dari Rasul yang hidup Ruhani dan jasadnya, sedang dialah pusatnya (kegiatan) alam insani untuk menuju hakikat dan makrifat billah.” (Yawaqit juz II: hal 80).

Beliau juga menegaskan lagi:

المُرِيْدُ ِإذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya meninggal, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti untuk membimbingnya.

Syeh Abu Yazid Basthami Ra berfatwa :

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ. وَقَالُوا : مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ

Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya.

Dari sini jelas dan tegas bila Ghauts meninggal, Allah SWT akan mengangkat Ghauts yang lain.

Para pengamal Sholawat Wahidiyah dahulu sebelum meninggal Ghautsnya beliau Mualif Sholawat Wahidiyah sendiri yaitu Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, sepeninggalan beliau Ghauts penerusnya adalah Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA.

Dasarnya, banyak diantara pengamal yang di dawuhi oleh Mbah Yahi Mualif Shalawat Wahidiyah QS wa RA yang menyatakan bahwa Romo Yahi Abdul Latif adalah pengganti Mbah Yahi.

Antara lain remaja dari Ngawi dan Pak Masykur Sekdes Dadapan Gampengrejo melaui mimpi. Keduanya di dawuhi oleh Mbah Yahi dengan redaksi yang hampir sama, Kowe meluwo anakku Abdul Laif, Pimpinan Umum. Iku sing ono Lillah Billahe. (Kamu ikut anakku Abdul Latif saja, Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah, itu yang ada Lillah Billahnya). Begitu dawuh Mbah Yahi QS wa RA kepada seorang remaja dari Ngawi.

Sedang untuk Pak Masykur Sekdes Dadapan, ketika dawuh Mbah Yahi sampai pada kata-kata Pimpinan Umum, Pak Masykur menangis sambil nida’ Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts berulang-ulang sampai Mbah Yahi menyuruhnya berhenti menangis, seraya beliau dawuh; wis-wis, saiki shalato makmumo kono.” (Sudah-sudah, sekarang kamu shalat dan makmum sana). Pada waktu itu yang menjadi Imam adalah Romo Yahi RA, badanya besar sekali tidak seperti biasanya.

Pengalaman KH. Nur Syaifulloh asal Bululawang, Malang selama menunaikan Ibadah Haji bersama rombongan dan Beliau Romo Yahi R.A. Pada hari ke 4 di Madinah. Sekitar jam 4 menjelang Subuh, beliau KH. Nur Syaifulloh mujahadah dekat Raudhah (tempat mustajabah antara maqom Rasulullah dan mimbar di dalam Masjid Nabawi) Saat mujahadah tersebut, dalam keadaan sadar beliau melihat beliau Rosululloh berdo’a yang artinya kurang lebih: “Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah dan yang mengakui yang menjadi Ghoutsu Hadzazaman” Setelah dawuh begitu beliau Pak KH. Nur Syaifulloh membaca “Huwa Ghoutsu Hadzazaman” kanjeng Nabi menunjuk pada beliau Romo Yahi R.A. yang berarti isyarat itu merupakan ta’kid dari ‘ala man’. Jadi yang dimaksud “ala man Huwa Ghoutsu Hadzazaman itu Beliau Romo Yahi R.A. Selesai itu beliau Pak KH. Nur Syaifulloh sadar seperti semula dalam keadaan Mujahadah.

Dan masih banyak pengamal lain yang di dawuhi Mbah Yahi dengan redaksi yang berbeda.

Apakah dawuh Mbah Yahi dalam mimpi itu Haq?

Ya, Haq. Al ‘alamah As-Sufairi Al Halabi pengikut Madhzab Syafi’I RA mengatakan dalam Syarah bukhari:

”Sungguh sebagaimana syetan tidak mampu menyerupai Rasulullah SAW, begitu juga ia tidak mampu menyerupai Wali Kamil (Ghauts).” (Tanwirul Qulub: 520)

Apabila ada pengamal yang tidak yakin bahwa Romo Yahi RA adalah Ghauts Penerus, bagaimana metode untuk mengetahui Ghautsu Hadzaz zaman?

Istikharahlah, dengan membaca Al Fatihah 1000x, memperbanyak “Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah alaika robbi nii bi-idnillah wandur ilayya sayyidii binadhroh muushilatil lil hadlrotil ‘aliyah” Dan ”Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts.” Di perbanyak tiap malam sampai ketemu dengan Ghautsu Hadzazzaman, diniatkan selama 40 malam. Dengan catatan jangan sampai di setir oleh nafsu, harus ikhlas dan niat akan mengikutinya. Sebab pada zaman Mbah Yahi QS wa RA ada orang yang bertanya pada beliau:
”Sekarang ini sudah zaman Imam Mahdi apa belum?” Mbah Yahi menjawab: Belum, coba kamu istikharah dengan membaca Al Fatihah 1000x.” Lain hari orang tersebut sowan dan mengatakan: ”Saya ketemu Imam Mahdi, saya diberi tahu bahwa Ghautsnya Panjenengan Yahi.” Tetapi sayang seribu sayang karena tujuanya hanya ingin tahu saja, setelah tahu hanya cukup tahu, tidak taslim, tidak nderek Mah Yahi QS wa RA, tidak menjadi Pengamal Wahidiyah.

Saran untuk Pengamal Wahidiyah?

Di sarankan bagi pengamal yang belum yakin atau tidak yakin bahwa beliau Romo Pengasuh Perjuangan Wahidiyah sebagai Ghauts, agar mencari sampai ketemu, sebagaimana telah dituntunkan.

Sumber:
Majalah Aham edisi 17/Ramadhan 1419H/Desember 1998M.
Majalah Aham edisi 57/Muharram 1426H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aurod Mujahadah bilangan 717

AURAD MUJAHADAH KEUANGAN

AUROD MUJAHADAH KEAMANAN DLL