SHALAWAT WAHIDIYAH DAN BERDIRINYA PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH

PONDOK PESANTREN KEDUNGLO
KEDIRI – JAWA TIMUR - INDONESIA
DAN SHALAWAT WAHIDIYAH
BERDIRINYA
PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH

Letak Geografis
Pondok pesantren Kedunglo al Munadhdhoroh terletak di Desa Bandar Lor Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. Desa Bandar Lor berada di pinggiran sungai brantas
sebelah barat dan berada + 1 km dari pusat kota Kediri.
Sesuai dengan data monografi desa Bandar Lor pda tahun 2002, luas desa ini + 111,35 Ha
dengan perincian sebagai berikut : pemukiman atau perumahan seluas + 87,50 Ha, sawah
dan ladang 9 Ha, jalan seluas 4,5 Ha, jalur hijau seluas 2 Ha, pemakaman seluas 1,5 Ha dan
lain-lain 1,3 Ha.
Adapun batas-batas desa Bandar Lor yang menjadi letak Pondok pesantren Kedunglo al
Munadhdhoroh adalah :
1.    Sebelah utara desa Mojoroto
2.    Sebelah barat desa Lirboyo
3.    Sebelah selatan desa Bandar Kidul
4.    Sebelah Timur sungai brantas
Pada tahun 2002 jumlah penduduk desa Bandar Lor berjumlah 8.593 jiwa dengan rincian
sebagai berikut :
1.    Penduduk laki-laki berjumlah 4.074 orang dengan rincian 4.073 WNI dan 1 WNA
2.    Penduduk perempuan berjumlah 4.519 orang dengan rincian 4.516 WNI dan 3 WNA
Mereka menyebar di 39 RT dan 8 RW, Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah berada
di RT. 17 RW.03.

Sejarah Berdirinya Pondok
1.    Latar Belakang Berdirinya Pondok

Pada akhir tahun 1800-an hingga tahun 1900 banyak oran g islam indonesia mulai menyadari
bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang
menantang islam yaitu dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi kristen dan perjuangan
untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan
cara-cara tradisional dalam menegakkan islam mereka mulai menyadari perlunya perubahan-
perubahan .
Salah seorang yang menyadari perlunya perubahan-perubahan tersebut adalah KH.
Mohammad Ma'roef. Lalu ia mendirikan sebuah pondok yang bernama “Kedunglo” yang
terletak di desa Bandar Lor kecamatan Mojoroto Kediri. KH. Mohammad Ma'roef mendirikan
pondok pesantren ini karena melihat semakin berkembangnya masyarakat pada masa
penjajahan kolonialisme yang pembinaannya telah didahului oleh ulama-ulama besar di
jamannya.
Di kota Kediri, pada awalnya sudah mengenal agama secara luas, termasuk agama islam.
Namun pada penerapan ajarannya perlu ditata lagi, karena mereka belum sepenuhnya
menerapkan syari’at islam, akan tetapi pada prakteknya masih dicampur dengan adat istiadat
yang bertentangan dengan syari’at islam.
KH. Mohammad Ma'roef, puta dari K. Abdul Madjid pendiri pondok pesantren Klampok Arum
desa Badal Ngadiluwih kab. kediri ini juga alumni pondok pesantren. Sebagai penerus dari
perjuangan ayahnya, ia lantas ingin mendirikan sebuah pondok pesantren, sebagai sarana
untuk mewujudkan masyarakat yang religius, masyarakat yang berbudi pekerti dan berakhlak.
Sepulang dari belajar di Makkah al Mukarramah selama + tujuh tahun, KH. Mohammad
Ma'roef tampak semakin alim dan waskita . Oleh karena itu, KH. Mohammad Ma'roef disuruh
oleh mertuanya - K. Shaleh , Banjarmlati Mojoroto - untuk mencari tanah yang akan dijadikan
pondok pesantren .
KH. Mohammad Ma'roef tidak menyia-nyiakan hal tersebut, dia lantas tirakat sambil
mengamalkan shalawat nariyah sebanyak 4.444 kali per hari. Akhirnya dia mendapat
petunjuk atau hidayah dari Allah swt. bahwa tanah yang cocok untuk dijadikan pondok
olehnya adalah tanah yang berada di sebelah barat sungai brantas diantara dua jembatan.
Petunjuk yang diperoleh KH. Mohammad Ma'roef lalu dihaturkan kepada mertuanya, akan
tetapi mertuanya, K. Shaleh, dan beberapa orang kerabat dan teman mengecam atau tidak
setuju dengan tanah pilihan KH. Mohammad Ma'roef. Hal ini disebabkan karena tanah
tersebut dikenal sebagai bumi supit urang, yaitu tanah yang berwujud rawa / perairan
semacam danau dan tidak berupa daratan. Namun KH. Mohammad Ma'roef tetap pada
pendiriannya memilih tanah tersebut sambil mengemukakan beberapa alasan. Alasan
tersebut adalah bahwa KH. Mohammad Ma'roef yakin bahwa pondok yang akan didirikannya
suatu saat nanti akan memiliki keistimewaan. Yang pertama, dekat dengan pasar (pasar
Bandar, utara lokasi pondok), kedua, dekat dengan sungai, ketiga, dekat dengan pusat kota.
Akhirnya alasan tersebut diterima dan jadilah tanah tersebut dibeli.
Setelah tanah dibeli, pada 1800-an KH. Mohammad Ma'roef mendirikan sebuah pondok
pesantren. Pondok tersebut kemudian diberi nama “Kedunglo”. Nama ini diambil dari kondisi
pondok tersebut dibangun, yaitu pondok didirikan diarea kedung (semacam danau) dan
disana tumbuh pohon Lo yang besar .
Karena di lokasi pondok yang pertama sering terjadi banjir sehingga menggenangi sekitar
lokasi pondok, maka pada tahun 1901 lokasi pondok pesantren Kedunglo di pindahkan
keselatan + 100 m dari lokasi semula. Maka dibangunlah masjid dan pondokan untuk santri,
yang mana masjid dan pondokan yang dibangun KH. Mohammad Ma'roef sampai sekarang
masih berdiri kokoh dan belum di ganti (pugar).
Setelah KH. Mohammad Ma'roef tinggal di pondok Kedunglo, maka berduyun-duyunlah para
santri yang ingin menimba ilmu kepadanya. Namun karena dia kurang suka memiliki banyak
santri, maka sebagian santrinya diserahkan kepada K. Abdul Karim , pendiri PP. HM. Lirboyo,
yang saat itu santrinya masih beberapa orang saja.
Ketika ditanya mengapa KH. Mohammad Ma'roef tidak suka mempunyai banyak santri ? dia
hanya menjawab : “Aku tidak mau memelihara banyak santri. Disamping repot kalau punya
banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena itu saya mohon kepada Allah agar santri saya
tidak lebih dari empat puluh orang saja. Kalau lebih dari empat puluh nanti ada yang nakal akhirnya pondok ini jadi rusuh”. Memang benar, santri KH. Mohammad Ma'roef tidak pernah
lebih dari empat puluh orang. Kalau lebih pasti ada yang pulang.
Selain sebagai pengasuh pondok, KH. Mohammad Ma'roef juga sebagai guru tunggal, tidak
ada guru / ustadz selain dia. Karena santri-santrinya ditangani sendiri, maka tak heran bila
sepulang dari mondok di Kedunglo para santrinya menjadi orang yang alim dan ampuh.
Diantara santrinya yang menjadi orang besar adalah K. Dalhar Watu Congol Magelang jawa
Tengah, K. Manab Lirboyo Kediri Jawa Timur (konon meski sudah memiliki banyak santri, K.
Manab masih mengaji ke Kedunglo), K. Musyafa’ Kaliwungu Kendal Jawa Tengah, K.
Dimyathi Tremas, K. Musthafa Bisri Rembang Jawa Tengah, K. Mubasyir Mundir kediri, K.
Marzuki Solo, dan para kyai yang ada di Kediri (pada masanya) yang pada umumnya pernah
belajar /mengaji pada KH. Mohammad Ma'roef  .
KH. Mohammad Ma'roef menguasai berbagai macam disiplin ilmu, maka kitab-kitab yang
diajarkan juga kitab-kitab yang tinggi. bahkan cara mengajarnya tidak sebagaimana ustadz-
ustadz zaman sekarang. Untuk mengajar syarah al Fiyah saja diamping menerangkan
syarahnya, dia juga membahas ‘arudnya (balaghahnya), maka satu mata pelajaran yang
dibahas sudah meluas ke mata pelajaran yang lain .
Setelah + 56 tahun memimpin pondok pesantren Kedunglo, pada hari Rabu Wage ba’da
Maghrib Bulan Muharram 1375 / th 1955 KH. Mohammad Ma'roef berpulang ke rahmatullah,
pucuk pimpinan pondok pesantren Kedunglo digantikan kepada putra beliau yang bernama
KH. Abdul Madjid Ma'roef.
Pada masa awal kepemimpinan KH. Abdul Madjid Ma'roef keadaan pondok masih seperti
pada masa KH. Mohammad Ma'roef, yaitu belum begitu banyak santri yang mondok. Bahkan
madrasah secara formalpun belum terbentuk. Baru sekitar tahun 1970-an madrasah pondok
baru berdiri.
2.    Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren
Yang dijadikan dasar oleh pondok pesantren Kedunglo sebagai lembaga pendidikan islam
sama seperti pondok-pondok lain, yaitu melaksanakan tugas penyiaran dan pembinaan
ajaran islam serta mengembangkannya serta mewarnai masyarakat dengan warna yang
islami. Artinya bahwa pondok pesantren membina akhlak, tingkah laku dan perbuatan yang
dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran islam sehingga terciptalah masyarakat
yang yang islami.
Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan umat dan pengembangan agama
islam. Dengan memperhatikan masyarakat Indonesia dewasa ini, maka santri pondok
pesantren Kedunglo diharapkan dapat dan mampu :
a.  Memiliki wawasan keagamaan yang luas serta pandangan yang kritis terhadap jalannya
pembangunan baik mental maupun spiritual.
b.    Mampu mengkontekstualisasikan ajaran islam kepada umat masyarakat.
c.    Menciptakaan struktur kemasyarakatan yang lebih profesional dan madani melalui ajaran
islam.
Konsep madani bagi orang arab mengacu pada hal-hal yang ideal, yakni mengacu pada
kehidupan Rasul pada periode Madinah dengan pesona keberhasilan Rasul membangun dan
membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati dengan landasan
hukum hak dan tanggung jawab bersama. Kata madani juga ideal dalam kontek sosiologis
dunia Arab, dimana kota selalu menjanjikan peradaban yang lebih makmur .
Tindakan-tindakan sebagaimana tersebut diatas akan menjadi kepribadian yang khas dari
pondok pesantren Kedunglo. Hal ini bisa dirasakan dari usaha pembinaan santri dalam
pembiasaan dan pengertian yang nantinya akan menghasilkan kader-kader yang militan
untuk ikut serta membangun umat masyarakat secara kaffah.
3.    Tokoh Pendiri Pondok Pesantren / KH. Muhammad Ma’ruf
Tokoh pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdharah adalah KH. Mohammad
Ma'roef. Dia lahir di dusun Klampok Arum desa Badal kecamatan Ngadiluwih kab. Kediri pada
tahun 1852. KH. Mohammad Ma'roef berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya
adalah K. Abdul Madjid, dia pendiri pondok pesantren Klampok Arum sebelah selatan Masjid
Badal dan seorang yang sangat disegani dan ditokohkan didaerahnya.
Konon K. Abdul Madjid, ayah KH. Mohammad Ma'roef, mempunyai kebiasaan tirakat dengan
hanya makan kunyit saja. Menurut penuturan KH. Mohammad Ma'roef kepada santrinya, K.
Abdul Madjid mempunyai kesabaran yang luar biasa. Sehingga sang istri yang ingin tahu
kemarahan sang suami membuatkan sayur tom, sayur yang rasanya sangat pahit, kemudian
dihidangkan kepada K. Abdul Madjid. Akan tetapi dengan lahapnya, seolah tidak merasakan
pahit, K. Madjid menghabiskan sayur yang telah dihidangkan istrinya. Malah ia tersenyum
sembari berkata : “segar sekali sayur buatanmu ini, besuk buatkan sayur seperti ini lagi, ya!”.
Pintanya kepada istrinya.
KH. Mohammad Ma'roef adalah putra kesembilan dari sepuluh bersaudara, tiga perempuan
dan tujuh laki-laki. Suadara-saudaranya itu adalah : Nyai Bul kijah, KH. Muhajir, K. Ikrom, K.
Rahmat, K. Abdul Alim, K. Jamal, Nyai Muttaqin, K. Abdullah, KH. Mohammad Ma'roef, dan
Nyai Suratun.
KH. Mohammad Ma'roef tidak lama merasakan kasih sayang ibunya, sebab ibunya wafat
ketika dia masih kecil. Akan tetapi dia masih merasakan kasih sayang sang ayah dan
saudara-saudaranya. Namun, tak lama kemudian ayahnya menyusul ibunya dipanggil sang
khaliq, Allah swt. Setelah itu KH. Mohammad Ma'roef diasuh oleh kakak sulungnya, Nyai Bul
Kijah.
Karena kondisi ekonomi Nyai Bul Kijah pas-pasan, maka ketika diusia sekolah, Mohammad
Ma'roef belum masuk sekolah. Dia hanya belajar mengaji al Qur’an yang diajari oleh Nyai Bul
Kijah, sang kakak. Itupun Nyai bul Kijah sering mengeluh, ini dikarenakan Mohammad Ma'roef
kecil sangat bodoh. Apa yang diajarkan kakaknya seakan tidak ada yang diterimanya.
Akhirnya Nyai Bul Kijah menyuruhnya untuk puasa senin-kamis.
Tidak lama setelah melaksanakan puasa senin-kamis, Mohammad Ma'roef bermimpi ada
seekor ikan emas meloncat masuk ke dalam mulutnya. Mimpi ini diartikan bahwa
Mohammad Ma'roef mendapatkan tanda-tanda adri Allah bahwa dia mendapatkan suatu
ilmu.
Suatu ketika Mohammad Ma'roef dimarahi oleh Nyai Bul Kijah dan dipukul dengan ulek-ulek,
alat untuk menggerus sambal, oleh Nyai Bul Kijah lalu dia ngambek dan menyusul kakak-
kakaknya yang terlebih dulu sudah berada di pondok dengan berjalan kaki, pondok pesantren
di desa Cepoko kec. Berbek Kab. Nganjuk.
Di pondok tersebut, Mohammad Ma'roef hanya makan seminggu sekali, itupun pemberian
warga sekitar yang setiap malam jum’at mengirim makanan ke pondok. Pada hari-hari biasa ,
jika lapar ia hanya makan intip   yang masih melekat dipanci dan tak dimakan oleh pemiliknya
atau memakan buah pace yang pohonnya dia tanam sendiri dilingkungan pondok.
Kondisi yang memperihatinkan selama nyantri tersebut membuat Mohammad Ma'roef
mempunyai kebiasaan puasa dan munajat kepada Allah, sehingga suatu ketika Allah
menganugerahkan ilmu laduni  kepadanya.
Akan tetapi untuk mendapatkan ilmu laduni ini tidaklah mudah. KH. Mohammad Ma'roef
muda harus benar-benar tirakat serta riyadhah dengan waktu yang cukup lama. Ilmu laduni
yang diberikan Allah kepada KH. Mohammad Ma'roef itu dibidang : Ilmu Fiqh, yaitu bermula
dari mimpi yang mengajar kitab kuning di pondok. Setelah kejadian tersebut dia yang sudah
mondok selama tujuh tahun dan baru kelas satu Tsanawiyah tiba-tiba bisa membaca kitab
kuning. Kemudian ia sowan kepada K. Muh, pengasuh pondok, menceritakan yang telah
dialaminya. Kemudian K. Muh mengumumkan kepada seluruh santri kalau besok dia tidak
mengajar dan akan digantikan oleh Ma'ruf dari Kediri.
Mendengar pengumuman dari sang kiyai, teman-teman mondok M. Ma'ruf banyak yang
mentertawainya bahkan mengejek. “Orang tidak bisa ngaji kok disuruh mengajar, apalagi
menggantikan kyai. Apa dia bisa ?”. Namun benar saja, Muhammad Ma'ruf bisa mengajar
bahkan ia hafal isi kitab milik gurunya, sehingga berita ini menggemparkan seluruh isi
pondok. Muhammad Ma'roef yang dulunya bodoh, tidak bisa mengaji, diremehkan bahkan
dibenci oleh teman-temannya tiba-tiba menjadi orang yang ‘alim, seketika itu juga mereka
(teman-teman Mohammad Ma'roef) segan dan menghomati Mohammad Ma'roef. Bahkan,
menurut cerita, K. Muh sendiri ikut berguru / mengaji kepada Mohammad Ma'roef.
Beberapa lama setelah kejadian itu, Mohammad Ma'roef melanjutkan perburuan mencari
ilmu ke Semarang pada K. Shalih. Genap dua tahun mondok pada K. Shalih di Semarang dia
pindah ke pondok Langitan Tuban. Setelah setahun belajar di pondok Langitan Tuban, dia pulang ke Kediri. Tak lama berselang, dalam usia 30 tahun, dia diambil menantu oleh K.
Shalih dari Banjarmlati Kediri untuk putri sulungnya yang bernama Hasanah. + Dua tahun
menikah puta pertama Mohammad Ma'roef dan Ny. Hasanah lahir, namun begitu rasa
hausnya akan ilmu membuat dia harus meninggalkan keluarganya untuk menimba ilmu pada
K. Khalil Bangkalan Madura yang termasyhur sebagai waliyullah.
Setibanya di pondok K. Khalil Bangkalan dia disambut langsung oleh sang tuan rumah : “ Hai,
anak jawa tampaknya kamu lapar, ini saya beri makan, harus dihabiskan”. Kata K. Khalil
sambil menyerahkan senampan besar nasi dengan lauk ikan bandeng sebesar betis. “Ya,
Kiyai”, jawab Mohammad Ma'roef. Diapun mulai menyantap nasi dan lauk yang dihidangkan
tersebut dengan niat menyerap ilmunya K. Khalil.
Selama Mohammad Ma'roef makan, K. Khalil terus mengawasinya dengan berdiri
disampingnya. Tangan K. Khalil membawa tongkat yang siap dipukulkan apabila Mohammad
Ma'roef tidak mampu menghabiskan makanan tersebut.
Bagi Mohammad Ma'roef yang terbiasa dengan puasa dan berlapar-lapar, menghabiskan
makanan yang sebegitu banyak tentu saja tidak akan mudah. Namun karena didorong niat
yang kuat untuk menyerap ilmunya sang kiyai, diapun lantas berdo’a kepada Allah agar bisa
menghabiskan makanan tersebut. Konon, do’a Mohammad Ma'roef ini bila di baca, maka
seberapa banyak makanan yang dimakan, perut tidak akan merasa penuh dan makanan akan
tetap bisa masuk ke perut. Dan benar saja, makanan yang dihidangkan K. Khalil habis
dimakan Mohammad Ma'roef sendirian.
Selama nyantri pada K. Khalil, KH. Mohammad Ma'roef muda tetap pada kegemarannya
untuk senantiasa riyadhoh, bahkan semakin menjadi-jadi. Dan riyadhoh seolah sudah
mendarah daging dengan Mohammad Ma'roef. Selama itu pula ia mempunyai kebiasaan
berziarah ke makam-makam keramat auliya se- Madura. Di makam-makam tersebut dia
bukan hanya berziarah, tapi juga tirakat. Apabila dia belum bertemu dengan wali yang
dimakamkan di situ, dia belum mau pergi. Sehingga dia dapat langsung berdialog dengan
wali yang sedang diziarahi. Tujuan riyadhohnya adalah ingin mempunyai ilmu laduni.
Terakhir dia riyadhoh di makam yang berada di Bujuk Sangkak, disini dia bertemu dengan
yang diziarahi dan berkata : “Hai, anak muda, mengapa kamu tirakat disini, apa yang kamu
cari ?”. “Saya santri K. Khalil Bangkalan, ingin jadi orang alim. Do’akan saya agar
mendapatkan ilmu laduni”, jawab Mohammad Ma'roef. Penghuni makam tersebut menjawab
: “Kamu bisa mendapatkan ilmu laduni, tapi tirakatmu masih kurang”.
Mendengar jawaban itu, Mohammad Ma'roef langsung menangis sedih. Setengah putus asa,
kemudian dia kembali ke pondok sambuil terus menangis. Mengetahui hal itu, K. Khalil
langsung menegur santinya itu : “Ma'roef sudah berminggu-minggu kamu tidak berada di
pondok, pergi kemana kamu ?”. Ma'rufpun menceritakan apa yang dialaminya dan berkata
kalau riyadhahnya masih kurang.
“Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi, yakni makam Kyai Abu Syamsudin di Batu
Ampar. Dia seorang wali besar. Semalam saya bertemu Kyai Abu Syamsudin, dia menyuruh
saya menulis dikuburannya, siapa yang bisa menghatamkan Al-Qur’an sekali duduk, apapun
keinginannya akan terkabul”. Kata K. Khalil. Mendengar hal itu, Mohammad Ma'roef langsung
berangkat ke Batu Ampar dan menghatamkan Al-Qur’an sekali duduk mulai Shubuh sampai
Ashar.
Selesai menghatamkan Al-Qur’an, seketika datang angin lesus menerjang tubuh Mohammad 
Ma'roef. Perasaannya saat itu, seakan dia ditumpahi nasi kuning hingga dia muntah berak.
Ditumpahi nasi kuning ini diartikan bahwa Mohammad Ma'roef diberi ilmu oleh Allah berkah
riyadhahnya di makam K. Abu Syamsudin.
Sepulang riyadhah di makam K. Abu Syamsudin, segala kitab yang ada di pondok K. Khalil
dikuasainya. Maka tercapailah sudah keinginan Mohammad  Ma'roef untuk mendapatkan
ilmu laduni tersebut.
Diantara teman belajar KH. Mohammad Ma'roef’ saat pada K. Khalil Bangkalan adalah KH.
Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), KH. Abdul Karim Manaf (Pendiri PP. HM. Lirboyo – saudara ipar
KH. Mohammad Ma'roef’).
Suatu hari Mohammad Ma'roef dipanggil K. Khalil, “Ma'roef, saya akan pergi haji. Pondok ini
saya serahkan kepadamu.” Diserahi pondok bukannya malah senang, dia malah masygul dan
susah sekali. “Kyai, saya kesini pengen ngaji kok mau ditinggal. Saya mau ikut panjenengan
naik haji saja, kyai.” Apa boleh buat, akhirnya K. Khalil mengabulkan permintaan murid
kesayangannya.
Selesai mengikuti gurunya menyempurnakan rukun Islam yang kelima, H. Mohammad
Ma'roef menetap di Makkah untuk melanjutkan studi dan membuat rumah di sana. Kepada
santrinya KH. Mohammad Ma'roef tidak pernah menceritakan siapa saja yang menjadi
gurunya selama belajar di Makkah. Namun karena dia di sana antara tahun 1887 – 1894,
dapat diduga bahwa gurunya antara lain : Syekh Nawawi Al Bantani dari Banten, Syekh
Ahmad Khatib Al Minangkabawi dari Minangkabau, Syekh Makhfud dari Tremas Pacitan,
Syekh Abas Al Yamani, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Madzhab Syafi’I di Makah35.
Sepulang dari Makkah H. Mohammad Ma'roef mendirikan pondok yang diberi nama pondok
pesantren Kedunglo36.
Pada tahun 1926, KH. Mohammad Ma'roef menerjunkan diri dalam organisasi
kemasyarakatan. Hal ini karena diajak oleh sahabatnya yakni KH. Mohammad Hasyim Asy’ari
yang pada waktu itu akan mendirikan Persatuan Nahdhatul Ulama (NU). Saat pendirian NU,
KH. Mohammad Ma'roef duduk di Mustasyar NU. Sebagai penasihat di NU, dia kerap
menghadiri muktamar-muktamar NU yang diadakan di daerah-daerah. Karena dia sudah
terkenal makbul do’anya, maka dia sering didaulat untuk memimpin do’a. Biasanya, jika para
ulama NU mengadakan Bahsul  Masail dan menemui jalan buntu, maka jalan keluarnya
adalah mereka sowan pada KH. Mohammad Ma'roef untuk meminta petunjuk.
Dalam hal ini KH. Mohammad Ma'roef’ menunjukkan kelas dan kekharismatikannya. Dengan
hanya mengatakan : “masalah itu ada di kitab anu……”. Tanpa menjelaskan detail
masalahnya. Dia memberi petunjuk tentang penyelesaian dari masalah tersebut.
Sumbangsih KH. Mohammad Ma'roef kepada negara di zaman perjuangan mengusir
penjajah  amatlah besar. Hal ini ditunjukkan saat pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya, bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah yang juga turut ke medan
pertempuran. Dia juga memberi bekal kepada para prajurit yang akan turun ke medan laga
dengan do’a-do’anya dengan harapan tidak terlihar oleh musuh dan kebal senjata.
Pada hari-hari terakhir menjelang wafatnya, KH. Mohammad Ma'roef yang memiliki do’a-do’a
ampuh untuk segala macam urusan ditulis keseluruhannya di papan tulis. Kemudian dia
menyuruh santrinya untuk menulis do’a-do’a yang disukai. Dengan senang hati para santri
segera menulis do’a-do’a tersebut lalu disowankan kepada gurunya. Do’a-do’a pilihan yang
sudah ditulis di kertas itu oleh KH. Mohammad Ma'roef hanya ditiup saja.
KH. Mohammad Ma'roef juga sering berwasiat kepada para tamu yang sowan dan minta
petunjuk, agar mengamalkan sholawat saja. Lebih jelas dia mengatakan kalau di Kedunglo
nanti akan lahir sholawat bagus.
Wasiat serupa juga disampaikan kepada mbah Khomsah familinya saat minta restu akan
mengikuti bai’at thariqah yang dihadiri oleh K. Romli dari Nganjuk. Dia berkata, “Sah, jangan
ikut bai’at Thariqah, Thariqah itu berat. Untuk orang yang punya uang tidak kuat.
Sepeninggalku nanti, di Kedunglo akan ada sholawat yang baik, tunggulah kamu akan
menjumpai sholawat itu. “ Terbukti, tujuh tahun setelah KH. Mohammad Ma'roef wafat
shalawat yang dinantikan yakni sholawat Wahidiyah lahir.
Pada detik-detik menjelang wafatnya, KH. Mohammad Ma'roef yang berusia 103 tahun tidak
kuat naik ke mesjid, dia tidak biasanya menyuruh murid-muridnya yang dari Mojo (K.
Makhsun, K. Ruba’i, K. Mahfud dan K. Mukhsin) agar mengajar anak-anak kecil pakai papan
tulis. Padahal jangankan mengajar mau sekolah saja empat sekawan tersebut oleh Mbah 
Ma'roef tidak diperkenankan.
Dalam kepayahannya karena sakit, dia masih memikirkan pembangunan pondoknya dengan
menyuruh santrinya, Makhsun dan Siyabudin mencari uang untuk membangun pondok.
Mereka pun pergi ke Surabaya, Gresik dan Malang melaksanakan perintah gurunya, KH.
Mohammad Ma'roef
Kelihatan sekali kalau Sang pendiri pondok pesantren Kedunglo sangat dermawan. Meski
ajal akan menjemput, dia masih juga berfikir untuk bershadaqah. Dengan tangan lemas
lunglai dia membuka-buka kasur dan bantal mencari-cari uangnya. Nyahi Romlah sang putri
melihat kelakuan aneh ayahnya sampai menegur, “Pak, sakit-sakit kok mencari uang buat
apa?”. “Kamu ini bagaimana, ya buat shadaqah.” Jawab KH. Mohammad Ma'roef’.
Akhirnya, pada hari Rabu Wage ba’da Maghrib di bulan Muharrom tahun 1373 H / 1955 M KH.
Mohammad Ma'roef menghembuskan nafasnya yang terakhir menghadap kehadirat Allah
SWT dengan tenang. Sebagai penerusnya untuk mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo
adalah KH. Abdul Madjid Ma'ruf.
4.    Kisah sekilas, KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs. wa Ra.
Kedunglo Kediri, pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H bertepatan dengan 28
Oktober 1918, sebagai putra ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Syech
Muhammad Ma’ruf, Ra. pendiri Pondok Pesantre Kedunglo Al-Munadhdhoroh dengan Ibu
Nyai Hasanah, putri K. Soleh, Banjar Mlati Kediri.
a.    Masa Kecil Gus Madjid, Qs. Ra.
Ketika masih berusia 2 tahun oleh kedua orang tuanya Agus Madjid di bawah pergi haji ke
Makkah Al-Mukarromah. Ketika di Makkah, setiap memasuki jam 12 malam KH. Muhammad
Ma'ruf menggendong Gus Madjid ke Baitullah dibawah atap Emas, disana KH. Muhammad
Ma'ruf berdo’a agar bayi yang berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang
saleh (putih-penulis) hatinya, begitu juga halnya ditempat-tempat mustajabah lainnya, KH.
Muhammad Ma'ruf selalu mendo’akan Gus Madjid agar menjadi orang saleh.
Ketika di ajak KH. Muhammad Ma'ruf, ke salah seorang Ulama Makkah, Gus Madjid akan
diangkat anak olehnya, namun ibu Nyai Hasanah keberatan sehingga Gus madjid tetap
berada dalam asuhan kedua orang tuanya. Yang akhirnya muncul sebuah ungkapan , “Kalau
bukan karena KH. Abdul Madjid Ma'roef maka Sholawat Wahidiyah tidak akan lahir dan kalau
bukan karena ibu Nyai hasanah, Sholawat wahidiyah tidak akan lahir di bumi Indonesia,
khususnya di bumi Kedunglo”.
b.    Masa Muda dan Masa Belajar KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs. Ra.
Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, namun hanya sampai
kelas 2, selanjutnya, ayahnya KH. Muhammad Ma'ruf mengantarkannya mondok di Jamsaren
Solo Jawa Tengah pada Syech Abu Ammar.
Genap 7 hari di Jamsaren, Gus Madjid di panggil gurunya dan berkata, “Sudah Gus,
panjenengan pulang saja ke Kedunglo”. Gus Madjid menaati perintah gurunya K. Abu Ammar,
dengan pikiran penuh tanda Tanya, “ kenapa diperintahkan pulang”, kemudian beliau pun
pulang dan dititipi surat agar disampaikan kepada ayahnya.
Setibanya dirumah, ternyata ayahnya, belum pulang,  sementara yang diantarkan sudah
sampai dirumah.
Terdorong oleh jiwa muda Gus Madjid haus akan ilmu pengetahuan, kemudian dia diantarkan
oleh ayahnya mondok di Mojosari Loceret Nganjuk Jawa Timur yang diasuh oleh K.
Zainuddin. Dipondok inipun, setelah tujuh hari beliau dipanggil gurunya, dan mengatakan,
“Gus, kamu sudah cukup, tidak usah mondok, pulang saja dirumah “. Gus Madjid pun
akhirnya kembali ke Kedunglo dan matur  (bicara-pen) kepada ayahnya, bahwa gurunya tidak
bersedia memberi pelajaran. Akhirnya KH. Muhammad Ma'ruf berkata : “Ya sudah, kalau
begitu, kamu saya ajari sendiri, satu bulan nilainya sama dengan 1000 bulan”. ujar Syech
Ma’ruf.
Maka setelah itu, gurunya adalah ayahnya sendiri, KH. Muhammad Ma'ruf Ra. yang mewarisi
ilmunya K. Cholil Bangkalan Madura Jawa Timur. Beliau diajari beraneka macam ilmu, yang
diajarkan di pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok
pesantren. Maka tak heran kalau pada akhirnya Gus Madjid tumbuh sebagai pemuda yang
alim dan wara’. Ibarat padi, semakin berisi, semakin merunduk. Semakin tinggi ilmunya,
beliau semakin tawadu’ dan pendiam, sehingga siapapun tidak pernah menyangka, kalau
dibalik pendiamnya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan, tapi
beliau tidak pernah, menampakkan keistimewaannya maupun karomah-karomahnya kepada
sesama.
c.    Masa Menikah
Ketika Gus Madjid berusia 27 tahun dan hampir menguasai keseluruhan ilmu ayahnya,
beliaupun semakin nampak dewasa dan matang. Maka tidak aneh, kalau banyak gadis yang
mengidamkannya, karena beliau disamping dikenal sebagai putra Syech Ma’ruf yang ampuh,
masyhur dan makbul do’anya, Gus Madjid juga seorang sosok pemuda yang alim berwajah tampan nan rupawan bagai rembulan  serta berhati putih.
Dari sekian gadis yang mendambakan dipersuntingnya, akhirnya dipilihlah seorang putri
bernama, Sofiyah Binti Syech Muhammad Hamzah, dari Mangunsari, Tulungagung Jawa
Timur. Dari pernikahan ini, mereka mempunyai sepuluh orang putra dan putri, mereka adalah :
Dra. Nurul Ismah, Dra. Tatik Faricha, KH. Abdul Latif Madjid (Pengasuh Ponpes. Kedunglo),
Dra. Jauharotul Maknunah, KH. Abdul Hamid Madjid, Istiqomah, Tutik Indiyah, SE., H. Agus
Syafik, Husnatun Nihayah, Ina.
KH. Abdul Madjid Ma'roef juga menikah dengan seorang wanita dari Kepanjen, Malang yang
bernama Suwati (Alm). Dari perikahan ini mereka dikaruniai dua orang putra, yaitu : Agus Ali
Irfan dan Agus Nafa’, keduanya meninggal ketika masih kecil.
d.    Kepribadian KH. Abdul Madjid Ma'roef QS. RA.
Gus Madjid, mempunyai kepribadian yang sangat santun, mempesona, berhati putih, suci dan
berwibawa, menurut penuturan, orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau,
mengatakan bahwa, akhlak Gus Madjid, adalah diakhlaki dengan Rasulallah SAW.
Jika bicara tenang dan santai, disertai senyum ramah dan sering melontarkan kalimat-
kalimat canda yang membuat beliau dan tamunya tertawa. Beliau berbicara dengan kalam,
artinya kata yang dituturkannya mengandung makna yang dalam karena beliau mempunyai
kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat, bila mengucapkan
kata-kata, sangat jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki, beliau sangat
memperhatikan dengan sungguh, kepada orang yang berbicara dengannya. Beliau juga
dikenal sangat dermawan, tak jarang tamu yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat
pulang, tamu tersebut diberi bekal secukupnya, pernah juga memberi belanja kepada seorang
pengamal yang tidak punya penghasilan, adapula seorang pengamal yang ingin tahu keramat
beliau, maka ketika si tamu pamit pulang, Syech Madjid memberikan jubahnya, kepada si
tamu.
Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah
dipakainya sekali, tidak dipakai lagi, sehingga tak heran kalau beliau sering mencuci
pakaiannya sendiri, bahkan juga menguran jedingnya sendiri. Dalam amsalah ini, beliau
pernah mengungkapkan rumahnya itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti
rumah sakit.
Bila marah, beliau Cuma diam, hanya roman mukanya sedikit berubah, kalau beliau mau
bicara, pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
e.    Kehidupan Rumah Tangga
Syech Abdul Madjid, QS. RA. memiliki rumah  tangga yang sangat islami dan harmonis,
hampir tidak pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran, kalaupunm ada kesalahan yang
telah dilakukan, masing-masing sibuk mengoreksi kesalahannya sendiri, sebagai suami,
beliau sosok suami yang romantis, amat setia mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati.
Kalau beliau berjalan berdua dengan bu Nyai. Di gandengnya tangannya Bu Nyai, dan
kemana-mana selalu berdua.
Dalam kehidupan sehari-hari, Syech Madjid sebagaimana yang dituturkan Nyai Hj. Shofiyah,
beliau sebagaimana manusia biasa, yang mencuci baju sendiri, dan mencucikan baju Mbah
Nyahi atau baju putra-putrinya.
f.    Kepemimpinan di Ponpes. Kedunglo
Selama KH. Abdul Madjid Ma'roef memimpin Pondok Pesantren Kedunglo, santri di pondok
ini pun bertambah, tidak dibatasi seperti pada masa KH. Mohammad Ma'roef. Didepan
masjid dibangun serambi, dan didepan serambi masjid agak keselatan dibangun sebuah
pondokan untuk santri.
Pada masa KH. Abdul Madjid Ma'roef inilah pendidikan di Pondok Pesantren Kedunglo
semakin berkembang. Dengan motto pendidikan “Mencetak Wali Yang Intelek dan Intelek
yang Wali” sang pengasuh pondok mendirikan madrasah diniyah (yang dulunya tidak ada),
SMP dan SMA. Hal ini dimaksudkan unuk membina santri tidak hanya mengerti ilmu agama,
namun juga bidang ilmu yang lain (ilmu umum) yang tentunya didasari hati senantiasa
taqarrub ilalloh wa Rasulihi Saw.
Setelah + 34 tahun memimpin pondok dan + 26 tahun membina umat mayarakat untuk
kembali sadar kepada Allah wa Rasulihi saw., pada hari selasa tanggal 7 maret 1989 / 1410 H ( + seminggu setelah mujahadah kubro rajab 1410 H) KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra.
wafat diusia 71 tahun Masehi / 73 tahun Hijriyah. Sepeninggal KH. Abdul Madjid Ma'roef,
Pondok Pesantren Kedunglo serta Perjuangan Wahidiyah yang mengangkat umat
masyarakat dari jalan kesesatan dalam kesadaran kepada Allah wa Rasulihi saw menuju
umat yang berkesadaran kepada Allah wa Rasulihi saw dengan jalan mengamalkan shalawat
wahidiyah kemudian dipimpin oleh putra beliau, yaitu KH. Abdul Latif Madjid Ra.
KH. Abdul Latif  Madjid adalah putra ketiga KH. Abdul Madjid Ma'roef dan Hj. Shofiyah dari
sepuluh bersaudara.
5.    PP. Kedunglo Melahirkan Shalawat Wahidiyah
Shalawat wahidiyah adalah rangkaian do’a shalawat dan dilengkapi tatacara pengamalannya
serta ajaran-ajarannya yang berfaidah menjernihkan hati dan KH. Muhammad Ma'ruf’rifat
billah yang bertujuan mengajak umat masyarakat sadar kepada Allah swt. wa rasulihi saw.
KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra. pada tahun 1959 mendapat suatu pentunjuk dari Allah
swt. dalam keadaan jaga, bukan mimpi, yang isinya supaya ikut memperbaiki kerusakan
mental masyarakat yang telah terjadi sejak lama, mengangkat umat masyarakat dari tempat
yang hina dihadapan Allah menjadi hamba yang berbudi dan bertakwa. Membangun atau
memperbaiki mental masyarakat, khusunya mental kesadaran kepada Allah wa Rasulihi saw.
khusunya lewat jalan bathiniyah. Petunjuk ini diperolehnya dalam keadaan sadar dan terjaga,
bukan mimpi .
Setelah menerima petunjuk yang berupa perintah tersebut, KH. Abdul Madjid Ma'roef sangat
prihatin sekali. Kemudian ia memperbanyak riyadlohnya, memusatkan kekuatan bathin untuk
bermunajat kepada Allah swt. (bermujahadah istilah wahidiyah), memohon  kesejahteraan
bagi umat dan masyarakat, terutama perbaikan mental. Do’a-do’a atau amalan yang
diamalkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef saat melakukan riyadlohnya adalah memperbanyak
membaca do’a shalawat kepada nabi saw. selain do’a-do’a lain yang diamalkannya (tetapi
kuantitasnya dibawah dia membaca do’a shalawat).
Bisa dikatakan bahwa hampir do’a shalawat diamalkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef, demi
memenuhi maksud dari petunjuk yang berupa perintah tersebut. Bahkan tidak ada waktu
yang terbuang tanpa diisi dengan membaca shalawat. Diantara do’a shalawat yang sering
diamalkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef diantaranya : shalawat Badawi, shalawat Nariyah,
shalawat Mahsyisyiyah, shalawat Munjiyat.
KH. Abdul Madjid Ma'roef lebih cenderung mengamalkan shalawat karena dikandung
maksud bahwa manfaat membaca shalawat itu adalah memberikan ketentraman hati,
ketenangan batin dan pasti diterima oleh Allah swt.
Jika dia bepergian dengan naik sepada angin, tangan kiri memegang setir dan tangan kanan
dimasukkan saku sambil memutar tasbih. Shalawat Nariyah sudah sering dihatamkan oleh
KH. Abdul Madjid Ma'roef dengan jumlah bacaan 4.444 sekali majlis.
Dengan penuh ketekunan dan prihatin yang mendalam akan keadaan umat, kiyai kharismatik
ini tak henti-hentinya melakukan mujahadah, bermunajat kepada Allah dengan riyadhoh dan
tirakatnya, seperti melaksanakan puasa sunah dan lain sebagainya. Tidak seorangpun dari
keluarganya yang mengetahui bahwa ia sedang melaksanakan suatu tugas dari Allah yang
sangat berat.
Pada awal tahun 1963, KH. Abdul Madjid Ma'roef menerima petunjuk yang kedua yang isinya
sama seperti yang pertama, th. 1959, namun bersifat peringatan dari petunjuk yang pertama
yaitu supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki mental masyarakat melalui jalan
batiniyah. Maka dia pun lantas lebih meningkatkan munajatnya kepada Allah swt. serta
meningkatkan riyadhahnya. Sampai-sampai kondisi fisiknya sering kali terganggu.
Namun demikian, kondisi bathiniyah KH. Abdul Madjid Ma'roef tidak pernah terpengaruh oleh
kondisi jasmaninya itu, terus senantiasa bermunajat kepada Allah swt. memohonkan
perbaikan mental dan akhlak bagi umat masyarakat.
Pada pertengahan tahun 1963, KH. Abdul Madjid Ma'roef memperoleh petunjuk yang ketiga
yang sifatnya lebih keras dari yang kedua. Bahkan dia diancam apabila tidak cepat-cepat
menolong umat masyarakat, maka akan terjadi kerusakan mental di masyarakat terutama
dalam hal kesadaran kepada Allah yang semakin parah. “malah kulo dipun ancam menawi
mboten enggal-enggal berbuat dengan tegas, aking kerasipun peringatan ancaman, kulo ngantos gemetar sedoyo badan kulo meniko”. (Malah saya diancam kalau tidak berbuat
dengan tegas, karena kerasnya peringatan dan ancaman, samapai gemetar semua badan
saya sesudah itu).
Setelah menerima petunjuk yang bersifat perintah yang ketiga ini, diapun lebih prihatin dan
lebih meningkatkan lagi munajatnya kepada Allah swt.
Dalam suasana hati senantiasa mengarah kepada Allah swt. wa Rasulihi saw. kemudian KH.
Abdul Madjid Ma'roef menulis sebuah do’a shalawat. “kulo ndamel oret-oretan”. (saya
membuat coret-coretan) katanya, maka tersusunlah shalawat ma’rifat “Allahumma kama
anta ahluh ….dst. tetapi belum sempurna seperti sekarang ini.
“Sak derengipun kula inggih mboten angen-angen bade nyusun shalawat, malah anggen kula
ndamel namung kalian nggeloso”. (sebelumnya saya tidak ada angan-angan untuk menyusun
shalawat, malah dalam saya menyusun itu sambil tiduran). Jelas KH. Abdul Madjid Ma'roef.
Kemudian shalawat Allahumma kamaa anta ahluh …. dst. yang baru lahir dari bathiniyah yang
bergetar dengan frekuensi tinggi kepada Allah swt.wa rasulihi saw. diuji cobakan kepada tiga
orang santri beliau, yakni Bp. Abdul Jalil (Alm.) dari Desa Jamsaren Kota Kediri, Bp. Mukhtar
dari Ds. Bandar Kidul Kediri, dan Dahlan santri dari Demak (waktu masih remaja).
Setelah mencoba mengamalkan shalawat yang baru dita’lif tersebut, ketiga santri tersebut
melaporkan bahwa dikarunia rasa tenteram dalam hati, tidak ngongso-ngongso dan lebih
banyak ingat kepada Allah swt. selanjutnya dicoba lagi, beberapa santri disuruh untuk
mengamalkannya, dan hasilnya tidak jauh beda dengan yang dialami dengan ketiga orang
yang pertama. Kemudian shalawat ini dinamakan shalawat ma’rifat yag dalam lembaran
shalawat wahidiyah berada pada urutan kedua.
Beberapa waktu kemudian lahirlah kembali dari jiwa yang senantiasa hudhur kepada sang
khaliq, yaitu shalawat “Allahhumma yaa waahidu yaa ahad … dst.” yang kemudian dikenal
dengan sebutan shalawat wahidiyah / shalawat tauhid. Shalawat inipun diuji cobakan kepada
beberapa santri untuk diamalkan, dan hasilnya lebih positif lagi, yaitu hati dikaruniai Allah
swt. ketenangan batin yang lebih mantab. Shalawat ini pada lembaran shalawat wahidiyah
berada pada urutan / susunan yang pertama.
Berturut-turut santri Ponpes. Kedunglo Al Munadzdzarah banyak yang mengamalkannya,
kemudian kedua shalawat ini diijazahkan oleh mu’alifnya secara umum, boleh diamalkan oleh
siapa saja.
Para tamu yang berziarah kepada KH. Abdul Madjid Ma'roef diberi ijazah untuk mengamalkan
shalawat ini. Disamping itu dia menyuruh beberapa santri untuk menulis shalawat ini yang
selanjutnya tulisan itu dikirim kepada para ulama / kyai. Dari beberapa ulama / kyai yang
diberi amalah shalawat tersebut dan mau mengamalkan melaporkan bahwa hasilnya sangat
positif, hati semakin dekat kepada Allah swt. wa rasulihi saw.
Dari hari kehari makin banyak orang yag datang utnk meminta diberi ijazah shalawat
tersebut. Ijazah mengamalkan yang beliau berikan adalah mutlak, artinya selain boleh
diamalkan oleh orang yang diberi ijazah secara langsung juga supaya disampaikan kepada
orang lain.
Di Ponpes. Kedunglo Al Munadzdzarah kemudian dibuka pengajian kitab al hikam, karangan
Syech Ibn Ath Tho’illah, yang langsung diasuh oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef yang
dilaksanakan setiap malam jum’at. Namun karena peserta pengajian banyak dari kalangan
pekerja kantor/PNS yang harus bekerja selama enam hari seminggu, mereka merasa berat
jika harus ikut ngaji malam hari dan siangnya harus masuk kerja. Maka mereka usul agar
waktu pengajian diganti hari ahad pagi, hari libur nasional, dan usulan tersebut diterima oleh
KH. Abdul Madjid Ma'roef. Maka sampai sekarang kegiatan pengajian kitan al hikam
dilaksanakan pada hari ahad pagi.
Kegiatan pengajian kitab al hikam didahului dengan jama’ah shalat tasbih dan mujahadah
(pengamalan) shalawat wahidiyah. Adapun keterangan KH. Abdul Madjid Ma'roef dalam
pengajian kitab al hikam dipadukan dengan kuliah wahidiyah.
Masalah-masalah pokok dan prinsip dalam kehidupan manusia didapatkan dari pengajian
tersebut yang meliputi bidang akhlaq, tauhid, adab, kemasyarakatan, dsb. Diuraikan dengan
contoh-contoh yang mudah difahami, sehingga mudah diterapkan oleh peserta pengajian.
Dalam pengajian tersebut kemudian lahirlah rumusan ajaran wahidiyah. Ketika KH. Abdul Madjid Ma'roef menerangkan bab tauhid, lahirlah ajaran “lillah billah”, dan saat menerangkan
bab hakikat wujud, pengertian dan penerapannya lahirnya ajaran “Bihaqiqotil
Muhammadiyah” yang kemudian disempurnakan dengan penerapan lirrosul birrosul, dan lahir
pula shalawat yang ketiga, yaitu “Yaa syaafi’al khalqish shalaatu wassalaamu ….dst”. yang
kemudian dinamakan shalawat saljul qulub, karena efek dari mengamalkan shalawat ini hati
menjadi tenang, dingin, tidak mudah tersinggung, amarah dapat terkendali, dan hati
senantiasa terhubung dengan rasulullah saw. kemudian shalawat ini dirangkai menjadi satu
dengan shalawat ma'rifat dan shalawat wahidiyah/tauhid dengan didahului bacaan surat
fatihah yang ditujukan kepada rasulullah saw. dan ghautsu hadzaz zaman ra.
Rangkaian do’a shalawat termasuk bacaan surat fatihah tersebut kemudian disebut
“SHALAWAT WAHIDIYAH”.
Nama wahidiyah diambil dari salah satu asmaul a’dham yang terdapat didalam shlawat
tauhid/ wahidiyah, Allahumma yaa waahidu … dst. Yaitu “Waahidu” yang artinya satu. Satu
yang tiada terpisah-pisah, mutlak satu, aslan wa abadan. Satu tidak seperti satunya makhluk.
Pada akhir tahun 1963 diadakan pertemuan tokoh ulama yang sudah mengamalkan
shalawat wahidiyah. Mereka dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang, dan Mojokerto yang
bertempat di mushalla KH. Abdul Jalil (alm) Jamsaren, Kediri. Pertemuan tersebut dipimpin
langsung oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef.
Diantara hasil pertemuan tersebut adalah tersusunnya redaksi yang tetulis dalam lembaran
shalawat wahdiyah sebagai petunjuk tata cara pengamalan shalawat wahidiyah termasuk
kata-kata jaminan atau garansi yang diusulkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef sendiri.
Pada tahun 1964, menjelang peringatan ulang tahun lahirnya shalawat wahidiyah yang
pertama, seorang pengamal wahdiiyah dari surabaya, KH. Machfudh dari Ampel Surabaya,
dibantu beberapa temannya mengusahakan klise shalawat wahidiyah yang pertama dan
mencetak lembaran shalawat wahidiyah sebanyak 12.500 lembar di kertas HVS putih atas
biaya (alm) Hj. Nur AGN dari Surabaya.
Sesudah peringatan ulang tahun lahirnya Sholawat Wahidiyah yang pertama diadakan
asrama (diklat) Wahidiyah di Pondok Pesantren Kedunglo dan diikuti oleh para tokoh
ulama/kyai yang sudah menerima Sholawat Wahidiyah dari daerah Kediri, Madiun,
Tulungagung, Blitar, Malang, Mojokerto, Jombang dan Surabaya.
Asrama (diklat) tersebut diadakan selama 7 hari 7 malam, materi diklat langsung diberikan
oleh KH. Abdul Madjid, RA. Muallif Sholawat Wahidiyah.
Kalimah nida’ “Yaa Sayyidii Yaa rasulallah” lahir ketika Asrama (diklat) tersebut dilaksanakan.
Sebagai pelengkapan untuk penyempurnaan dan peningkatan amalan Sholawat Wahidiyah
yang sudah ada di dalam lembaran Sholawat Wahidiyah kemudian ditambahkan kalimah
nida’ tersebut.
Pada awal tahun 1965, ketika KH. Abdul Madjid Ma'roef menerangkan hal Ghoutsu Hadzaz
zaman Ra. didalam kuliah beliau dalam Asrama (diklat) Wahidiyah yang ke-2 lahirlah kalimat
istighausah “Yaa Ayyuhal Ghautsu Salamullah...”dst. Istighosah ini tidak langsung
dicantumkan kedalam rangkaian shalawat Wahidiyah dalam lembaran yang di edarkan
kepada masyarakat tetapi hanya di anjurkan banyak diamalkan oleh mereka yang sudah agak
lama mengamalkan Shalawat Wahidiyah terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus.
Hal tersebut merupakan suatu kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah
dan sirri-sirri yang kita tidak mampu menguraikannya.
Sehingga dalam masa-masa sesudah tahun 1965 dalam beberapa waktu lamanya, lembaran
Shalawat Wahidiyah yang diedarkan kepada masyarakat hanya sampai pada Yaa Sayyidi Yaa
Rasulallah.
Perhatian masyarakat makin hari terus bertambah terhadap amalan Shalawat Wahidiyah.
Permintaan–permintan Shalawat Wahidiyah makin bertambah, meskipun disana-sini ada
sebagin masyarakat yang tidak mau menerimanya, kontra akan keberadaan shalawat
wahidiyah.
Kekontrasan mereka ternyata dikemudian hari merupakan hikmah yang membawa saluran
tarbiyah bagi peningkatan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW.
Diantara tanggapan muallif shalawat wahidiyah, KH. Abdul Madjid Ma'roef, tentang
pengontrasan wahidiyah yang terjadi di daerah. ada suatu kisah seorang pengamal dari suatu daerah melaporkan kepada beliau bahwa didaerahnya terjadi pengontrasan yang sangat
agresif.
Dengan ramah dan senyuman Muallif Sholawat Wahidiyah memberikan jawaban “mestinipun
kita kedah maturnuwun dumateng pengontras, jalaran kita lajeng mindak mempeng anggen
kito mujahadah” (Mestinya kita harus berterima kasih kepada pengontras sebab kita menjadi
meningkat didalam mujahadah).
Pada mujahadah kubro  pada tahun 1970, Muallif shalawat wahidiyah dalam kuliyah
wahidiyah umum memberikan pandangan perjuangan wahidiyah terhadap adanya
pengontras, bahwa sesungguhnya pengontras Wahidiyah besar sekali jasanya terhadap
wahidiyah, mereka itu adalah kawan setia dalam Perjuangan Wahidiyah yang harus kita
syukuri.
Pada sekitar awal tahun 1968 mulai dimasukkannya kalimat istighautsah kedalam rangkaian
do’a Shalawat Wahidiyah  dan  disebarluaskan  kepada masyarakat.
Pada tahun 1971 menjelang diadakannya pemilihan umum di negara Republik Indonesia
maka lahirlah  shalawat “Yaa Syaafi’al Khalqi habiballah .... dst.” yang disebut shalawat
perjuangan.
Demikian berturut-berturut dari hari-kehari shalawat wahidiyah semakin sempurna seirama
dengan peningkatan ajaran Wahidiyah yang diberikan oleh mualifnya, yang sesuai dengan
kebutuhan situasi serta kondisi didalam masyarakat baik di dalam negeri maupun luar
negeri.
Pada tahun 1972 shalawat wahidiyah dilengkapi dengan do’a “Allahumma baarik fii maa
kholaqta wahaazihil baldah” yang mempunyai tujuan mendoakan negara agar senantiasa
mendapat barokah Allah swt.
Pada tahun 1973,  do’a nida’ “Allahumma bihaqis mi kal a’dham....dst”. dan Fafirruu Ilallah
serta “waqul jaal haqqu...dst”. juga ditambah dengn nida’ “fafirru ilallah” dengan berdiri
menghadap 4 penjuru di ajarkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef sebagai kelengkapan do’a
shalawat wahdidiyah.
Kalimah nida’ fafirru Ilalah dalam beberapa masa tidak dicantumkan dalam rangkaian
pengamalan Shalawat Wahidiyah tetapi dibaca bersama-sama oleh imam dan makmun pada
akhir tiap-tiap do’a, begitu juga kalimah “wa qul jaal …dst.”, juga belum dijadikan rangkaian
dengan “fafirruu ilallah” seperti sekarang ini.
Pada tahun 1978 dilengkapi dengan do’a, “Allah humma baarik fii hadzihil mujahadah yaa
Allah”.
Pada tahun 1980, bacaan “watarzuqona tamama maghfiratika” pada shalawat ma’rifat
disempurnakan dengan ditambah “Yaa Allah”. Demikian juga watamama nikmatika dan
seterusnya sampai dengan “wa tamama ridlwanika” ditambah dengan “Yaa Allah”.
Pada tahun 1981, do’a “Allohumma baarik fii maa kholaqta wahadzhil  baldah”, ditambah “yaa
Allah”.
Dan doa’ “Allohumma baarik fii hadzihil mujahadah yaa Allah” menjadi “wafi hadzihil
mujahadah yaa Allah” sehingga menjadi rangkaian do’a “Allohumma barik fii maa kholaqta
wa hadzihil baldah ya Allah wa fi hadzihil mujahadah yaa Allah”.
Pada tahun pada tanggal 27 Jumadil akhir 1401 H atau 2 Mei 1981 lembaran Sholawat
Wahidiyah yang ditulis dengan huruf Al-Qur’an diperbaharui dan disempurnakan sehingga
seperti yang dapat kita lihat sampai sekarang ini.
Demikian secara kronologis lahirnya Sholawat Wahidiyah yang bertujuan mengajak umat
masyarakat sadar kembali kepada Allah wa Rasulihi saw. serta berfaidah menjernihkan hati
dan ma’rifat billah wa Rasulihi saw. mengalami penyempurnaan disetiap periode.
Semua periode tersebut memiliki rahasia-rahasia (sirri-srri) yang kita sekalian tidak mampu
untuk menguraikannya, hanya kadang-kadang ada beberapa pengamal yang ditunjukkan
secara bathiniyah sirri-sirrinya, yang jelas penyempurnaan seluruh rangkaian pengamalan
shalawat wahidiyah seirama dengan ajaran wahidiyah yang di bimbingkan oleh mualifnya
kepada para pengamal wahidiyah yang sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi 
didalam masyarakat baik didalam negeri maupun luar negeri.
Semoga Allah SWT memberikan barokah terhadap shalawat wahidiyah dan memberikan
balasan yang sebanyak-banyaknya kepada muallifnya, hadrotul mukarram KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra. Min yaumina hadza ila yaumil qiyamah. Amin.
MASA PERKEMBANGAN
PONDOK PESANTREN KEDUNGLO
Untuk dapat mengetahui perkembangan suatu pondok pesantren, tentunya kita harus dapat
memahami perubahan-perubahan di dalam pondok pesantren . Dan seharusnya diketahui
terlebih dahulu sebab-sebab yang mendorong terjadinya perubahan itu sendiri.
Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat pada pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik dan kyai yang merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti
bahwa suatu lembaga  pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen
tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren . Dengan melihat perubaha-perubahan
dari lima elemen itu maka nantinya kita dapat mengetahui perkembangan dari pondok
pesantren. Di dalam perkembangan pondok pesantren Kedunglo ini, kita kelompokkan dalam
tiga (3) periode, yaitu :
A.    Periode Awal tahun 1901 – 1955
Setelah hampir tiga ratus tahun umat Islam melakukan perjuangan menentang kolonial
Salibiyah, yang berakhir dengan kekalahan, maka pada tahun-tahun tersebut umat Islam
mencoba bangkit kembali. Karena medan perjuangan telah mengalami banyak perubahan,
maka pola perjuanganpun mengalami perubahan, walau sasaran utama tetap sama yaitu
tegaknya negara Islam, dimana syari’at Islam dapat dilaksanakan secara utuh . Maka dengan
kondisi seperti itu pola perjuangan dari umat Islam berubah. Yaitu banyak yang mendirikan
organisasi-organisasi ke Islaman. Organisasi-organisasi ke-Islaman didirikan karena pada
saat itu ekspansi Kristenisasi sangat mencolok, yang dilakukan oleh missi dan zending
Kristen (Katolik dan Protestan) dengan bantuan sepenuhnya oleh penguasa kolonial Belanda
. Dengan kondisi masyarakat yang terombang-ambing seperti itu maka banyak juga yang
mendirikan pondok pesantren.
Pada tahun 189… berdirilah pondok pesantren Kedunglo yang didirikan oleh KH. Mohammad
Ma'roef. Karena tempat didirikannya pondok saat itu sering terkena banjir, maka pada tahun
1901 lokasi pondok dipindahkan keselatan lokasi yang lama ( + 50 m ). Periode ini dikatakan
periode awal, karena periode inilah yang mengawali kehidupan baru di dalam pondok
pesantren Kedunglo yang bertujuan menyiarkan dan mengembangkan ajaran Islam, artinya
bahwa pondok pesantren membina akhlaq, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan
masyarakat berdasarkan pada ajaran Islam, sehingga terciptalah masyarakat yang Islami.
Karena melihat kondisi lingkungan sekitar yang masyarakatnya lebih dekat dengan adat
istiadat atau lebih banyak menganut kepada aliran-aliran kebatinan.
Pada saat itu pendidikan agama belum banyak berkembang dan pesantren inilah yang
berfungsi sebagai sarana untuk menyiarkan agama islam secara utuh dalam masyarakat Ds.
Bandar Lor.
Konon KH. Mohammad Ma'roef mempunyai temperamen yang keras. Kalau dia sedang
marah pada seseorang ya marah betul. Bahkan kalau dia sedang marah dan sempat
mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang dimarahi akan celaka betul. Akan tetapi dia
sangat terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada dirinya hampir pasti diceritakan kepada
keluarga dan murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan hidup gurunya dari yang
sifatnya umum sampai pribadi.
Setelah pondok pesantren Kedunglo didirikan akhirnya berbondong-bondonglah santri untuk
mengaji, akan tetapi pada periode awal tersebut jumlah santri belum begitu banyak. Sistem
pengajarannya menggunakan struktur, metode dan literature tradisional. Pendidikan
pengajaran tradisional dapat berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan
jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem
halaqah (lingkaran) dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian
tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan
harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan kitab (teks) lain . Kitab-kitab yang diberikan kepada santri adalah kitab-kitab
sebagaimana yang ada di pondok-pondok salaf lain yaitu mengacu pada bidang tauhid serta
do’a-do’a yang menjadi tren pada saat itu, seperti tahlil, wirid-wirid dan masih banyak lagi.
Tetapi sat itu di Pondok Pesantren Kedunglo belum didirikan madrasah untuk sarana belajar,
karena santri masih sedikit, maka pengajaran santri langsung ditangani sang pengasuh
pondok.
Adapun fasilitas pondok pada saat itu masih sangat terbatas sekali. Misalnya jumlah
pondok, mengingat bahwa santri yang mondoknya masih sangat terbatas. Adapun pondok
pada zaman KH. Mohammad Ma'roef ini adalah pondok yang sekarang diberi nama Al 
Ma'roef dan Al Mundir. Keadaan masjid yang ada di pondok pesantren Kedunglo pada saat
itu sampai saat ini masih tetap belum ada perubahan akan tetapi sudah ada penambahan-
penambahan.
B.    Periode Pertengahan, Tahun 1955 – 1989
Pada periode ini dikatakan masa pertengahan karena berada diantara masa awal berdiri dan
masa perkembangan. Pada periode ini pucuk kepemimpinan berganti. Setelah KH.
Mohammad Ma'roef meninggal dunia pada tahun 1955 lalu digantikan oleh putranya yaitu
KH. Abdul Madjid  Ma'roef. Dia  mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Kalau
bicara tenang dan santai disertai senyum, dia juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda,
dia berbicara dengan jawami kalam, artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung
makna yang banyak. Dia mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang
dari yang dikehendaki. Dia memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara
dengannya.
KH. Abdul Madjid Ma'roef juga terkenal sangat dermawan. Tidak jarang tamunya yang sowan
dan nampak tidak punya ongkos buat pulang diberi uang olehnya. Bila marah, dia cuma diam.
Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau dia mau berbicara pertanda bahwa marahnya
sudah hilang dan tidak terjadi apa-apa.
Pada periode pertengahan ini, santri masih tetap. Dalam artian belum begitu banyak yang
mondok. Sampai pada tahun 1963 muncullah Shalawat Wahidiyah yang ditaklif langsung
oleh KH. Abdul Madjid  Ma'roef. Pro dan kontra saat itu terjadi namun tidak begitu banyak
hambatan, yang akhirnya dapat mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai
sekarang ini.
Setapak demi setapak langkah KH. Abdul Madjid  Ma'roef menuju suasana yang lebih terang,
ini terbukti semakin banyaknya peningkatan-peningkatan. Misalnya banyaknya santri yang
berdatangan di pondok pesantren Kedunglo untuk mondok. Dan setiap tahunnya jumlah
santri selalu meningkat. Akan tetapi sistem pendidikan tradisional yang digunakan adalah
sistem pengajaran semacam asrama seakan-akan mereka hanya butuh tempat saja, karena
banyak yang sekolah umum di luar pondok.
Akhirnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh KH. Abdul Madjid  Ma'roef, sesuai dengan
perkembangan zaman, dia ingin mencetak wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka
dikumpulkanlah orang-orang dekat untuk mewujudkan cita-citanya. Pada pertengahan era
tujuh puluhan di Pondok Pesantren Kedunglo didirikan madrasah diniyah sebagai sarana
belajar santri tentang berbagai disiplin ilmu agama.
Serta pada tahun 1982 dibuatlah sekolah umum di dalam lingkungan pesantren, yaitu
didirikannya SLTP dan SLTA, serta pada tahun 1985 didirikan TK. Pada saat itu gedung dan
perlengkapan yang dimiliki masih sangat terbatas sekali, lokasinya ditempatkan di depan
Masjid atau disekeliling pondok pesantren Kedunglo. Dengan adanya pendidikan umum itu
disambut antusias oleh pengamal Wahidiyah yang ingin tabaruk atau yang ingin keberkatan,
keselamatan, kesentosaan  kepada mu’alif Shalawat Wahidiyah. Sehingga membawa pondok
pesantren mengalami kemajuan. Sistem pendidikan yang dianut di Pondok Pesantren
Kedunglo memakai sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan salafi ( tradisional )
serta kurikulum nasional. Karena sistem pendidikan di SLTP dan SLTA mengikuti pada sistem
pendidikan Nasional.
Tenaga pengajar di dalam pendidikan wahidiyah itu diajar oleh guru-guru yang juga para
pengamal wahidiyah dan para simpatisan wahidiyah yang mengajar di sekolah negeri di
wilayah karisidenan Kediri. Lama-kelamaan jumlah santri meningkat sekitar + 400 orang
santri putra dan putri yang sebagian besar hampir 95 % masuk di sekolah wahidiyah yang
lainnya hanya mondok saja. Disamping santri dibekali oleh pengetahuan umum dengan
adanya TK, SLTP dan SMU, seluruh santri diharuskan mengikuti segala kegiatan yang diadakan dalam pesantren.
Kegiatan yang diadakan dalam Pondok Pesantren Kedunglo adalah jama’ah shalat witir
dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya (pengamalan shalawat
wahidiyah), pagi sampai siang mengikuti pelajaran di SLTP dan SLTA, bagi yang tidak sekolah
pagi diadakan pengajian kitab kuning, pada malam harinya semua santri diwajibkan
mengikuti sekolah agama atau sekolah diniyah sebagai perbekalan kepada masyarakat
setelah ia pulang dari pondok pesantren Kedunglo. Adapun kitab-kitab yang diajarkan seperti
fiqh meliputi safinatush sholeh, sulam taufiq, takrib, fatkhul mu’in serta kitab lain yang
menunjang. Kitab nahwu seperti jurumiyah, imriti dan alfiah, kitab taukhid meliputi jawahirul
kalamiyah, aqidatul kalamiyah.
Setiap kamis malam jum’at KH. Abdul Madjid  Ma'roef memberikan pengajian umum kitab Al-
Hikam karya sheikh Ibn Aththo’illah di dalam masjid. Santri yang hadir dalam pengajian
tersebut tidak hanya dari Pondok Pesantren Kedunglo, namun juga dari wilayah karisidenan
Kediri, dari wilayah yang jauh seperti Jawa Barat, Jawa tengah, bahkan luar Jawapun juga
datang. Yang intinya pada pengajian itu adalah tabarukan kepada mu’alif shalawat wahidiyah
serta untuk semakin memahami tentang ajaran wahidiyah. Waktu untk pengajian kitab al
Hikam ini kemudian diganti pada hari ahad pagi, hal ini memperhatikan permintaan dari
jama’ah yang mana mereka bisa mengikuti pengajian pada hari ahad, karena bertepatan
dengan libur kerja.
Dengan semakin bertambahnya santri yang mondok di pondok pesantren Kedunglo tersebut
akhirnya jumlah pondokpun juga semakin bertambah. Adapun penambahan jumlah pondok
adalah yang sekarang disebut pondok Al-Fikr dan pondok Al-Hikam.
Perkembangan demi perkembangan telah tersusun, namun usialah yang membatasi. Pada
tahun 1989 KH. Abdul Madjid  Ma'roef telah kembali ke Rahmatullah.
C.    Periode Perkembangan Tahun 1989 – 2005
Setelah KH. Abdul Madjid  Ma'roef meninggal dunia, pucuk pimpinan Pondok Pesantren
Kedunglo dan perjuangan wahidiyah ( Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat ) digantikan oleh
putranya yang bernama KH. Abdul Latief Madjid. Hal ini diputuskan dalam musyawarah
keluarga pada tanggal 8 maret 1989 + jam 02.00 Wib. sebelum jenazah KH. Abdul Madjid
Ma'roef dikebumikan yang saat itu dibacakan oleh Mayor TNI (Purn) AF. Badri dan M.
Machrus.
KH. Abdul Latif Madjid sangat disiplin dalam memimpin pondok pesantren Kedunglo dan
Penyiar Sholawat Wahidiyah. Kalau terjadi sesuatu masalah, dia tidak segan-segan turun
tangan dan memberikan pemecahan masalah. Sifatnya yang seperti itu menyebabkan
sebagian orang yang dari awal kontra dengan dia semakin tidak senang. Disamping itu dia
juga mempunyai pemikiran yang modern dalam upaya peningkatan mutu madrasah atau
pondok pesantren yang merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat
dihindari.
Era pasar bebas yang dimulai pada tahun 2003 menuntut kemampuan bersaing untuk
sumber daya manusia kita. Kemampuan bersaing hanya mungkin muncul bila kita
berkualitas. Tanpa kualitas, maka Sumber Daya Manusia kita akan menjadi tenaga kerja dan
tenaga lapis bawah dalam era pasar bebas tersebut .
Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan gambaran
tentang Visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah tersebut adalah menjadi
madrasah sebagai sekolah plus yang berkualitas, berkarakter dan mandiri. Madrasah plus
adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun
tetap dengan identitas keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrasah adalah sekolah
umum yang berciri khas Islam.
KH. Abdul Latief Madjid mengatakan bahwa seorang santri pondok pesantren Kedunglo
harus mempunyai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan selain ilmu agama. Dia menata
managemen pondok pesantren Kedunglo sebagai pelaksana apa yang dicita-citakan oleh KH.
Abdul  Madjid  Ma'roef yang ingin menjadikan santri-santri Kedunglo sebagai wali yang
intelek dan intelek yang wali. Maka rehabilitas pondok ditingkatkan.
Pada tahun 1990, KH. Abdul Latief Madjid mendirikan gedung baru untuk SLTP dan SMA
dengan menelan biaya + 1 M. Biaya pembangunan gedung lantai dua ini didapat dari para pengamal wahidiyah, alumni Pondok Pesantren Kedunglo dan kas pondok pesantren. Seluruh
managemen pondok, SLTP dan SMU Wahidiyah ditingkatkan. Sehingga menjalin hubungan
timbal balik antara pengamal wahidiyah, para alumni pondok, dan pondok pesantren
Kedunglo.
Managemen berarti kegiatan-kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan pokok yang telah
ditentukan dengan menggunakan orang-orang pelaksana. Sedang fungsi dari managemen
antara lain untuk perencanaan, pengorganisasian, penggerakan da pengawasan.
Managemen pada pokoknya bertujuan untuk mendapatkan hasil kerja yang efektif, yaitu
sesuai dengan yang telah direncanakan  . Dengan banyaknya tuntutan dari para pengamal
disekitar pondok pesantren Kedunglo yang menginginkan anaknya memperoleh pendidikan
Wahidiyah yang masih berusia Sekolah Dasar, akhirnya pada tahun 1996 KH. Abdul Latief
Madjid mendirikan Sekolah Dasar (SD).
Dengan lebih meningkatnya mutu pendidikan di pondok pesantren Kedunglo, maka pengamal
wahidiyah tidak meragukan lagi untuk menyekolahkan putra-putrinya di TK, SD, SLTP dan
SMA Wahidiyah. Santri pondok pesantren Kedunglo semakin lama semakin meningkat
dengan pesat. Dan peningkatan sarana dan prasaranapun dicukupi. Santri diharapkan hanya
untuk belajar. Misalnya kebutuhan makan dan minum terorganisir dengan baik dengan
terbentuknya catering pondok pada akhir tahun 1996.
Sistem yang dianut pondok pesantren Kedunglo menggunakan sistem konfensional atau
adat. Sehingga pada tahun 1997 KH. Abdul Latief Madjid melegalkan satu bentuk yayasan
perjuangan Wahidiyah  dan pondok pesantren Kedunglo yang telah didaftarkan pada Akta
No. 05 tahun 1997 pada Tambahan Berita Negara (TBN), yaitu Nomor : I/AD/1998 BN. No.
1/98.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo adalah lembaga pusat
kegiatan wahidiyah yang mempunyai cabang di seluruh pelosok indonesia dan luar negeri.
Inilah yang mengolah sepenuhnya para santri yang berada di pondok pesantren Kedunglo
dan para pengamal shalawat wahidiyah. Di lembaga ini terdapat 11 Departemen yang
masing-masing membidangi dalam acuan organisasi untuk meluaskan, membina,
menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada masyarakat yang masing-masing departemen di
pimpin oleh seorang Pramu . Adapun ke sebelas Departemen tersebut adalah sebagai berikut
:
1.    Departemen Urusan Wilayah
2.    Departemen Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah (DPPW)
3.    Departemen Pembina Remaja Wahidiyah (DPRW)
4.    Departemen Pembina Wanita Wahidiyah (DPWW)
5.    Departemen Pembina Kanak-kanak Wahidiyah (DPKW)
6.    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wahidiyah (Depdikbudwa)
7.    Departemen Keuangan Wahidiyah (DKW)
8.    Departemen Koperasi Wahidiyah (Depkop)
9.    Departemen Perlengkapan Wahidiyah
10.    Badan Penyalur Bantuan Koperasi Wahidiyah
Saat ini telah terbentuk cabang kepengurusan Yayasan Perjuangan Wahidiyah di 15 propinsi
dan ratusan kota/kabupaten di wilayah Indonesia. pada perkembangannya di Luar Negeri pun
sudah banyak yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah seperti di Brunai Darussalam,
Malaysia, Australia, Thailand, Hongkong, Saudi Arabia, Singapura, Amerika, Perancis yang
penyebarannya sebagian besar dibawa oleh para TKI.
Untuk mencetak kader-kader Wahidiyah sejak dini seperti yang dicita-citakan oleh KH. Abdul 
Madjid  Ma'roef, KH. Abdul Latief Madjid pada tahun 1998 mendirikan pondok pesantren
kanak-kanak, yang bertujuan untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia yang berwawasan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan bertaqwa berlandaskan ajaran islam.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin menuntut SDM (Sumber Daya Manusia)
yang berkualitas, pada tahun 1998 KH. Abdul Latief Madjid mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Wahidiyah (STIEWA) dengan jurusan Menejemen dan Akuntansi, dan pada tahun
2002 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) dengan jurusan Ahwalus Syahsiyah dan
KH. Abdul Latief Madjid juga ingin mendirikan Sekolah Tinggi Teknik (STT) dengan jurusan Teknik Informasi dan Teknik Industri untuk menambah kualitas SDM.
Pada masa ini pula nama Kedunglo mendapatkan tambahan gelar al Munadzdzarah  dari
pengasuh pengasuh perjuangan wahidiyah dan pondok pesantren kedunglo sehingga
menjadi Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah.
Pada tanggal 22 Rajab 1426 / 27 Agustus 2005 di Pondok Pesantren Kedunglo Al
Munadzdzarah telah diresmikan laboratorium bahasa dan sedang dipersiapkan pula
laboratorium komputer. Dengan bertambahnya sarana pendidikan umum di pondok
pesantren Kedunglo, maka jumlah santri juga semakin lama semakin bertambah.
Pada tahun 1995 jumlah santri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah sekitar 220-an,
sementara pada tahun 2005 jumlah santri sudah mencapai 1.500-an. Ini adalah santri yang
statusnya tinggal di dalam pesantren, sedangkan santri yang tidak bertempat tinggal dalam
pesantren atau bisa diistilahkan sebagai santri kalong pun juga banyak.
Dengan perjuangan yang begitu besar yang dilakukan oleh KH. Abdul Latief Madjid. Akhirnya
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan pondok pesantren Kedunglo dapat berkembang dengan
pesat dan sejajar dengan organisasi-organisasi lain sampai sekarang.
Keadaan Masjid pada periode perkembangan ini masih tetap seperti semula. Akan tetapi
untuk lokasi pondok semakin luas, dengan semakin banyaknya santri yang mondok, maka
jumlah lokasi di pondok pesantren Kedunglo juga semakin bertambah. Sampai sekarang
jumlah lokasi yang ada di pondok pesantren Kedunglo ada 10 lokasi, adapun nama-namanya
adalah sebagai berikut :
Pondok Putra ada 4 Asrama :
1.    Asrama Al Ma'roef
2.    Asrama Al Fikr
3.    Asrama Al Hikam
4.    Asrama Al Mundir
Pondok Putri ada 5  asrama :
1.    Asrama Al Hasanah
2.    Asrama Al Fatimiyah
3.    Asrama Al Ma'rifah
4.    Asrama An Nadhrah
5.    Asrama Al Jadid
Serta pondok kanak-kanak ada 1 lokal. Dalam perkembangannya telah dibangun beberapa
asrama untuk para santri yang setiap tahunnya terus bertambah.
AKTIVITAS PONDOK PESANTREN KEDUNGLO
A.    Bidang Agama
1.    Madrasah Diniyah
Semua santri di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah diwajibkan mengikuti
pelajaran di madrasah diniyah. Madrasah diniyah ini dibagi menjadi : Taman Pendidikan Al
Qur’an (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs.), dan Madrasah Aliyah
(MA).
2.    Pengamalan Shalawat Wahidiyah
Dalam bidang agama, yang paling tampak sekali di pondok pesantren Kedunglo adalah
adanya pengamalan shalawat wahidiyah. Dengan adanya shalawat wahidiyah ini banyak
umat yang berbondong-bondong datang ke pondok pesantren Kedunglo untuk bermujahadah
(istilah Wahidiyah) atau tabarukan (ngalap barokah).
Berbagai jalan ditempuh manusia untuk memenuhi kebutuhan batinnya seperti shalat, zikir
dan itu merupakan latihan jiwa. Menurut Imam al Ghozali bahwa jiwa itu dapat diolah, diubah,
dikuasai, sehingga bermanfaat bagi seseorang yaitu dapat berakhlak mulia dan terpuji serta
ada hubungan erat antara anggota badan dan perbuatan dengan jiwa atau hati manusia.
Untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah diperlukan cara-
cara tertentu. Dalam ilmu tasawuf, ilmu itu dikenal dengan thareqat. Menurut Aboe Bakar
Atjeh, thareqat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang
ditentukan dan dicontohkan oleh nabi.
Jalan yang ditempuh oleh shalawat wahidiyah untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah dengan jalan mujahadah. Mujahadah berarti berjuang,
bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu untuk diarahkan Ma'rifat kepada Allah Swt.
3.    Qiyamul Lail
Semua santri wajib bangun malam untuk untuk melaksanakan shala tahajut, shalat witir
berjama’ah dan dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya. Hal ini
dimaksudkan untuk melatih santri agar terbiasa dengan amalan sunah yang sangat
dianjurkan sehingga bisa terbawa kebiasaan tersebut sampai dirumah.
4.    Setiap selesai jama’ah sholat maghrib, semua santri melaksanakan tadarus al Qur’an.
5.  Kamis malam jum’at semua santri membaca surat Yasin, Tahlil dan diba’iyah, juga
melaksanakan muhadhoroh sebagai sarana lahitah pidato.
6.  Minggu siang pengajian kitab Al-Hikam. Dimana Pengajian kitab Al Hikam inidiberikan
langsung oleh Kyai atau Pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, yang peserta dari pengajian
tersebut tidak hanya berasal dari santri saja akan tetapi dari pengamal wahidiyah yang
datang dari berbagai daerah, seperti : Kediri, Tulug Agung, Nganjuk, Blitar, Jombang,
Surabaya, bahkan dari Jawa tengah, Jawa Barat ataupun dari luar Jawa.
B.    Bidang Pendidikan
Sekian lama pesantren dipandang sebagai lembaga eksklusif, sampai akhirnya mengalami
perubahan yang sangat terbuka dan menggembirakan. Kini saatnya orang berfikir bahwa
sekolah an sich tidak mungkin dapat diandalkan untuk mendidik manusia secara utuh.
Banyak yang mengeluh bahwa akhlak dan perilaku pelajar dewasa ini cenderung merosot
dengan berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan banyak pihak. Karena itu, patut
dipikirkan kemungkinan “pesantren masuk sekolah” sesudah “sekolah masuk pesantren”.
Jika pesantren sudah bersedia menerima sekolah, mungkinkah sebagaimana sedang
diperlihatkan oleh beberapa sekolah tertentu . Misalnya saja pondok pesantren Kedunglo ini.
Di dalam pondok pesantren Kedunglo ini terdapat pendidikan umum. Akan tetapi pendidikan
yang bersifat tradisional tetap diberikan.
Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren mengkonsumsi Kitab Kuning sebagai pedoman
berfikir dan bertingkah laku. Ia telah menjadi bagian intern dalam pesantren. Menurut
masyarakat pesantren, kitab Kuning merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran Al Qur’an
dan Sunnah Nabi  .
Menurut bukunya Karel A. Steenbrink, bahwa pengajian kitab tradisonal terbagi menjadi dua,
santri harus menyediakan waktu untuk studi bahasa Arab dan sesudah itu mulai mempelajari
isi kitab-kitab agama yang merupakan unsur paling penting .
Begitu juga di dalam pondok pesantren Kedunglo yang memberikan studi bahasa Arab dan
mempelajari kitab-kitab agama. Pendidikan agama di pondok pesantren kedunglo diberikan
pada saat sekolah diniyah pada malam hari. Adapun pelajaran yang diberikan antara lain
adalah : fiqh, ‘aqidah, nahwu, sharf, balaghah, dan masih banyak lagi.
Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada dalam taraf yang boleh dikata kritis. Oleh
karena itu, seluruh kemampuan untuk membuka lembaga-lembaga pendidikan berupa
sekolah harus digali terus menerus dari masyarakat, baik yang berasal dari pemerintah
maupun non pemerintah. Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah lebih banyak
inilah antara lain dapat ditafsirkan salah satu tujuan pelaksanaan sebuah kurikulum
mendirikan sekolah-sekolah baru dalam jumlah besar dapat ditempuh melalui ajakan serius
pada pesantren untuk mendirikan sekolah umum di kalangan pesantren seperti : SD, SLTP,
SMA dan Sekolah Tinggi dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material pada
pesantren.
Berbagai upaya dilakukan dalam mengantisipasi keadaan krisis dan moral, upaya yang paling
efektif adalah dengan proses sosialisasi melalui lembaga pendidikan formal.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo menyadari betapa
keberadaan lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk mencetak pejuang-pejuang handal
dalam segala lapisan kehidupan yang bermoral dan beretika, berkepribadian tangguh serta
mempunyai integritas yang tinggi didalam meneruskan Perjuangan Fafirruu Ilallah wa
Rosulihi SAW.
Profil lembaga pendidikan Wahidiyah :
1.  Motto Pendidikan Wahidiyah, yaitu “Mencetak wali yang intelek, intelek yang wali” atau mencetak intelektual yang ulama’, ulama’ yang intelek.”
2.    Landasan Pendidikan Wahidiyah/islami.
3.    Konsepsi atau  Model Pendidikan Wahidiyah/islami.
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh pendidikan Wahidiyah adalah wali yang intelek, intelek
yang wali atau intelektual yang ulama’, ulama’ yang intelek. Dengan istilah umum, keluaran
Pendidikan Wahidiyah adalah Insan berakhlakul karimah, berprestasi yang sekaligus terampil
serta siap menjadi pejuang Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.
Proses pendidikan Wahidiyah menerapkan pola terpadu antara pendidikan umum dengan
pendidikan pondok pesantren serta diberi bekal keprofesian agar lulusannya siap melakukan
pengabdian di masyarakat.
Basis utama sebagai masukan calon siswa pendidikan Wahidiyah adalah seluruh keluarga
pengamal shalawat wahidiyah yang tersebar diseluruh tanah air, bahkan telah merambat ke
beberapa negera luar negeri.
Pendidikan Wahidiyah dalam perkembangannya, TK (berdiri tahun 1985), SD (berdiri tahun
1996), SLTP (berdiri tahun 1981), SMU (berdiri tahun 1981), STIE Wahidiyah (berdiri tahun
1998), STIS Wahidiyah (tahun 2002) yang pada akhirnya pada tahun 2010, Yayasan
Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo mendirikan sebuah universitas yang
bernama UNIVERSITAS WAHIDIDIYAH yang kampusnya berada dilingkungan Pondok
Pesantren Kedunglo al Munadhdharah Kediri. Perkembangan pendidikan diatas tidak terlepas
dari upaya yang dilakukan oleh pramu pendidikan Wahidiyah dibantu oleh staf pendidikan
dalam kepanitiaan penerimaan siswa atau mahasiswa baru.
C.    Bidang Ekonomi
Dalam upaya meningkatkan ekonomi pondok pesantren Kedunglo, di Pondok Pesantren
Kedunglo Al Munadzdzarah berdiri koperasi wahidiyah sebagai gerakan ekonomi rakyat
(pengamal shalawat wahidiyah) atau sebagi peran serta dalam mewujudkan masyarakat
yang sadar kepada Allah wa Rosulihi SAW, yang maju adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu koperasi wahidiyah perlu membangun dirinya agar
menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan menjadi
soko guru perekonomian Nasional.
Kegiatan mujahadah kubro yang dilaksanakan dua kali setahun, yaitu bulan muharram dan
rajab, ternyata bisa membangkitkan perekonomian rakyat, terutama di Ds. Bandar Lor, Kediri.
Kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari empat malam dan diikuti oleh ratusan ribu
pengamal wahidiyah dari segala penjuru ini telah membangkitkan perekonomian warga
sekitar. Mulai dari jasa parkir, tidak kurang dari 1.500-an kendaraan yang parkir saat acara ini
berlangsung, jasa MCK, warung makan, penginapan dan lain sebagainya.
D.    Bidang Sosial
Dalam bidang sosial ini Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo
menitik beratkan pada bidang penyiaran shalawat wahidiyah yang sangat dibutuhkan oleh
umat masyarakat pada saat ini .
Penyiaran Shalawat wahidiyah ini dilakukan melalui beberapa cara, seperti dengan
mengadakan mujahadah usbu’iyah, mujahadah syahriah, rubu’ussanah, mujahadah. Pondok
Pesantren Kedunglo juga mengadakan kegiatan lomba-lomba yang bernuansakan
wahidiyah/islami yang dapat diikuti juga oleh masyarakat non wahidiyah, pembinaan-
pembinaan da’i-da’iyah wahidiyah seperti up-grade, training dan masih banyak lagi .

Diposting 24th April 2012 oleh Ramsel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aurod Mujahadah bilangan 717

AURAD MUJAHADAH KEUANGAN

AUROD MUJAHADAH KEAMANAN DLL